Rabu, 24 Januari 2018

Lingkau di Uma, Alternatif Sumber Karbohidrat

Photo: Iwi S (Dec. 2017)
Lingkau, begitulah ia disebut oleh orang di Kampungku. Jagung begitulah orang di Kampung Almh. Nenekku menyebutnya. Tumbuhan ini juga merupakan salah satu pilihan pangan sumber karbohidrat yang akrab disebut Sorgum oleh masyarakat di wilaya timur Indonesia seperti Papua. Sama halnya dengan beras yang ditanak menjadi nasi, Lingkau juga bisa ditanak menjadi nasi Lingkau. Proses sebelum menjadi nasi Lingkau juga sama persis ketika mengolah gabah atau padi dengan dijemur terelebih dahulu, ditumbuk kemudian dipisahkan dari kulit atau sekamnya, baru dimasak. Lingkau juga bisa dan enak dijadikan tapai bahkan melalui proses fermentasi yang cukup lama dibiarkan bisa menghasilkan tuak lingkau. Terkadang, aku kecil sering memakan biji Lingkau ini seperti makan kuaci utamanya untuk biji matangnya, bahkan tanpa harus diproses dengan cara dijemur, ditumbuk dan dimasak terlebih dahulu. Rasanya gurih. Sayang sekali, terlewatkan oleh saya mengambil gambar biji Lingkau yang berwarna kecoklatan di luar dengan daging didalamnya berwarna putih dengan tekstur yang unik. Suatu saat, lensa macro saya harus mengabadikannya.
Biji Lingkau yang sudah dikupas

Biji Lingkau dilepas dari tangkai
Sama halnya dengan Jawak atau Jawawut, Lingkau juga menjadi tanaman selingan yang disebar bijinya diantara tanaman padi. Seringnya, lingkau dipanen sembari menunggu padi matang di ladang. Acapkali kita jumpai ia berdampingan dengan Jawak berada di sela-sela tanaman padi.

Jawak atau Jawawut/Jewawut, Pakan Burung dan Pangan Masyarakat Dataran Tinggi

foto 1: Tangkai Bulir Jawaut di Bekas Ladang (pasca panen padi)

Jawak atau Jawawut adalah salah satu dari sekian banyak sumber pangan alternatif pengganti nasi atau sumber karbohidrat dengan nama ilmiah  Setaria italica. Dalam bahasa Inggris, ia dikenal dengan nama foxtail millet* karena memang bentuk tangkainya menyerupai ekor rubah. Dalam 100 gram biji jawawut terkandung 351 kalori, 11,2 gram protein, 4 gram lemak, 63,2 gram karbohidrat dan 6,7 gram serat mentah (www.healthbenefitstimes.com).

 Di kampungku, tanaman ini sering dijadikan tanaman selingan padi ataupun disebar di sudut dan atau di pinggir/sisi ladang dengan bukaan tidak luas. Proses pengolahan Jawak menjadi panganan sama persis dengan mengolah padi menjadi nasi atau bubur. Hanya saja, umumnya Jawak dibuat dalam bentuk bubur santan manis. Sama persis dengan posisinya di ladang, Orang di kampung lebih sering menjadikannya sebagai makanan selingan, bukan pengganti nasi, Namun, sebetulnya, Jawak bisa dijadikan sebagai pengganti nasi karena teksturnya yang padat ketika sudah dimasak menjadi bubur meskipun biji Jawak ini sangatlah halus sehalus biji selasih. Saya begitu menggemari makanan satu ini. Mengenyangkan dengan sangat mudah. Proses menyajikan Jawak menjadi panganan sering diilustrasikan sebagai kerja keras atau daya juang yang sangat besar. Menumbuk gabah Jawak jauh lebih sulit daripada menumbuk padi. Sampai-sampai proses pada tahapan ini sering digambarkan berpeluh darah saking rumitnya.

Foto 2: Bulir Kecil Jawawut
Foto 3: Bubur Jawawut
Hanya dengan segenggam Jawak yang sudah ditumbuk dan bersih dari kulit (sekam), bisa menyajikan satu panci besar bubur Jawak untuk sekitar 10 orang (tergantung porsi makannya juga sih). Santan dan gula merah menjadi soulmate bubur Jawak.

Siska Tirajoh, pernah menuliskan bahwa tanaman biji-bijian ini berasal dari Papua sehingga ia juga  dikenal sebagai Jawawut Papua (WARTAZOAVol. 25 No. 3 Th. 2015 Hlm. 117-124DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v25i3.1156). Di Papua, Jawawut yang tinggi kandungan karbohidratnya ini merupakan pakan unggas pengganti jagung, belum akrab sebagai sumber pangan untuk masyarakat. Sumber lain mengatakan bahwa Jawawut pertama kali dibudidayakan di China oleh Peiligang. Jenis Millet Foxtail ini lazim dalam budaya Yangshao, sekitar tahun 600 SM pada Zaman Besi. Di Eropa, Amerika, Asia dan Australia,  Jawawut atau Jewawut menjadi makanan mewah (https://www.healthbenefitstimes.com/foxtail-millet).

Foxtail-millet-seeds
Foto 4: Biji Jawawut/Jewawut/Foxtail Millet/Milet

Mari menanam Jawak!!!. Mari budayakan "Tak Harus Makan Nasi"

*Menurut wikipedia Bahasa Indonesia, Millet atau Milet merupakan sekelompok serealia yang memiliki bulir berukuran kecil. Pengelompokan ini tidak memiliki dasar botani maupun agronomi.Penyebutan milet adalah semata untuk mengelompokkan berbagai serealia minor (bukan utama)

Credit Photo:
Foto 1,2, dan 3 by Iwi Sartika; foto 4 saya ambil di https://www.healthbenefitstimes.com/foxtail-millet/ 

Baca juga: https://www.healthbenefitstimes.com/foxtail-millet/; WARTAZOAVol. 25 No. 3 Th. 2015 Hlm. 117-124DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v25i3.1156

Raja Jalanan

Kata atau Subyek "Aku' seringnya dominan saya gunakan dalam tulisan di TENGAH RUAI. Kali ini, saya ingin tidak biasa. Khan sudah tahun baru 2018, dan ini tulisan pertama di tahun ini. Jangan menebak kalau ini cerita liburan, cerita malam tahun baruan apalagi curhatan emak-emak seperti yang lagi nge-hits sekarang disoroti. SAya mah gak gitu orangnya. Alis gak dilempeng-lempengin gak perlu pensil alis soalnya. Gak suka juga diajakin makan berat karena terlalu gampang kenyang, lha saya makan kerupuk aja udah kenyang. Ini bukan curhat khan ya ...

Tidak ada yang salah dengan curhatan hati. Yang salah adalah jika curahan hati itu merugikan orang lain. Kali ini saya hanya ingin mencerita dinamika kehidupan di jalanan, tepatnya jalan raya. Menarik saja menuliskannya di TENGAH RUAI daripada hanya sebatas postingan status di sosmed atau video recording, Anggap saja melatih kembali kelihain jari-jari menari di atas keypad laptop dan kecerdasan pikiran, karena saya merasa sudah semakin tidak cerdas. Jangan sampai dikalahin kecerdasan HP.

Awal bulan di tahun ini, saya ditawari pekerjaan oleh salah satu lembaga yang pernah menghire saya sebagai konsultan singkat. Saya menerima tawaran itu. Konsekwensinya, setiap hari saya harus memilih dua cara untuk mencapai kantor; pertama dengan rute yang lebih dekat tapi mengantri untuk naik ferry dengan membayar Rp. 5.000; Kedua adalah rute yang cukup jauh karena menyeberangi dua sungai yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Ditambah lagi, hitungan beberapa lampu merah di pertigaan dan perempatan yang lebih banyak jika dibandingkan rute dengan menggunakan ferry. Sejauh ini, saya baru satu kali melewati jembatan. Saya memilih jalur Ferry.Saya hanya perlu sabar menunggu giliran naik ke ferry setelah membeli tiket, kemudian duduk manis di atas motor sambil menyaksikan pemandangn, bahkan sempat membaca berita di gadget dan membalas pesan WA.Begitu tiba di seberang sungai,  saya hanya perlu melewati tiga kali lampu merah. Jika beruntung, saya hanya sekali saja menemukan lampu merah, tapi jarang.

Saya selalu was-was ketika posisi saya persis di depan saat perhentian di traffic lights karena lampunya merah yang artinya berhenti. Kenyataannya, sering orang menunjukan tingkah seolah-olah "dunia milik mbah mu). Ada orang yang sibuk dengan gadgetnya, ada yang sibuk diskusi dengna teman sesama pengendara motor dan ada yang sibuk berkomunikasi dengan bunyi klakson. Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada diklakson, artinya dipaksa terus berjalan di saat lampu merah masih menyala dan masih kesempatan pengguna sisi lain jalan untuk bergerak. Kurang begitu, orang yang nglakson juga marah-marah. Saya pernah. Tapi saya lawan dengan cara, saya malah memajukan motor persis dihadapan si pemain klakson (biasanya orang bermobil). Saya lebih suka menantang, jika memang berani dan tidak sabar tetapi berani, paling-paling saya ditabrak Berani nabrak di tengah keramaian, di lampu merah lagi???

Sedikit melewati lampu merah artinya sedikit energy terkuras untuk marah-marah, ngomel dan memaki. Artinya berkurang peluang berbuat dosa. Begitu juga sebaliknya. Namun, itu jika asumsinya hanyalah masalah kesenangan orang berkomunikasi dengan klakson (padahal suara klakson yang kencang dan tiba-tiba bisa membuat pengguna jalan lai  kaget, hilang konsentrasi dan berisiko membahayakan diri sendiri dan orang lain. Hal lain yang sering ditunjukan oleh para raja dan ratu jalanan adalah kebiasaan lampu sen kiri, belok ke kanan. Siapa bilang ini tidak seberbahaya saat tidak memberi tanda lampu sen sama sekali ketika mau belok.Dan, jangan bilang juga ini kebiasaaan emak-emak atau Ibu-ibu sampai muncul istilah "macam emak-emak, sen kiri, belok kanan". Saya menyaksikan berkali-kali ini sudah lintas gender dan lintas generasi. Kenapa? Karena setiap orang ingin menjadi Raja Jalanan, Setiap orang merasa diri sibuk, harus didahulukan dan merasa jago, apalagi tidak menggunakan perlengkapan standar keamanan berkendara seperti helm dan penggunaan sabuk pengaman bagi yang bermobil.

Raja jalanan. Mestinya Raja dan Ratu, karena lagi-lagi ini terjadi dan berpotensi dilakukan oleh siapa saja, baik laki maupun perempuan.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...