Kreatifitas dan inovasi adalah dua kata sifat (kreatif dan inovatif) yang
berubah menjadi kata benda dengan pengertian yang sangat aktif. Dikatakan aktif
karena keduanya memiliki makna mendalam tentang penggalian ide dan gagasan
menjadi bentuk yang kongkrit, dari yang sekedar berkutat dikepala dan
terpikirkan menjadi berbentuk dan tergapai oleh indera manusiawi kita. Kedua
kata, kreatif dan inovatif ini menjadi tugas pentingku dalam empat hari pada
empat hari lalu. Tugas memfasilitasi orang-orang hebat yang sudah berkecimpung
di pemberdayaan masyarakat dengan dimensinya masing-masing. Mereka adalah
aktivis dari beberapa kampung dari beberapa Kabupaten dan juga aktivis dari
Pontianak. Sebut saja aktivis dari AMA-JK Ketapang, JAKA-Melawi,
SKAK-MAD-Kapuas Hulu, Tokoh Masyarakat Dayak Ds. Sungai Garong-Melawi dan
beberapa aktivis dari lembaga di Pontianak seperti PSE, Gemawan, Pentis Pancur
Kasih, CU FPPK, PPSDAK Pancur Kasih, dan SAMPAN. Aku memiliki kesempatan
belajar dari orang-orang hebat ini bukan saja karena mereka aktivis tetapi
diantara mereka juga adalah orang-orang yang lama kukenal dan dalam relasi kami
mungkin tak banyak waktu untuk belajar bersama selain hanya sekedar bertegur
sapa seadanya, bertanya kabar dan sedikit bertanya informasi terkini di kampug
mereka untuk yang berasal dari kampung. Sedangkan untuk beberapa peserta,
justeru mereka adalah sahabat dan kawan menikmati “me time” dengan berkaraoke
dan terkadang cuap-cuap sekenanya. Beberapanya bahkan orang-orang yang baru
kukenal. Kesemuanya, orang-orang ini secara langsung maupun tidak langsung,
mereka sadari atau tidak, mereka turut menambah isi pundi-pundi ilmuku, dan
semakin memantapkan proses belajarku di dunia ini. Beragam pengalaman menarik seputar metode dan tekhnik fasilitasi pun
kudapatkan, termasuk perbedaan substansi dan konteks pengalaman mereka.
Ada yang berpengalaman melakukan motivasi dan sosialisasi Credit Union -
CU, ada yang berpengalaman memberikan pelatihan pertanian kepada
masyarakat, ada yang berpengalaman mengorganisir kelompok dalam
organisasi di kampung, berpengalaman mengorganisir pertemuan-pertemuan
multipihak dan antar komunitas dan ada juga yang berpengalaman sering
menjadi narasumber pada pertemuan-pertemuan mahasiswa sampai pada
mengorganisir aksi.
Dan yang paling spesial juga
adalah ini kesempatan aku belajar dan reunian dengan Sainal Abidin, seorang
kawan dari Lembaga Wallacea, Palopo-Sulawesi Tengah. Kawan yang punya segudang
pengalaman memfasilitasi di berbagai daerah, dan kami pernah berkesempatan
belajar bersama berguru pada Mbak Julia Kalmirah dan Rival Gulam Ahmad dalam
Training of Trainer yang difasilitasi oleh HuMA tahun 2010 silam. Dan
perjumpaan kami ini lagi-lagi difasilitasi oleh HuMA dan Lembaga Bela Banua
Talino, dua lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan sumber daya hukum
masyarakat. HuMa berbasis di Jakarta dan memiliki mitra di berbagai daerah
seperti Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. LBBT
berbasis di Pontianak dan memiliki wilayah dampingan/fasilitasi di Kabupaten
Sekadau, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Bengkayang dan Melawi. Lembaga ini memiliki kesan tersendiri karena
sebelas tahun (2000-2011) aku menimba ilmu tentang hukum kemasyarakatan
(baca:hukum rakyat) dan banyak hal tentang Masyarakat Adat.
Kami menghabiskan waktu empat hari di luar kota yang hanya berjarak satu
jam 45 menit saja dari Kota Pontianak, yakni Desa Terap, Sarikan-Toho, tepatnya
di Biara Rivotorto yang dikelola oleh seorang Suster Tua bernama Gratia. Empat
hari yang berat dimana aku harus berkawan dengan meriang, sakit kepala dan
hidung mampet (gak sampe meler) karena flu dan terpaksa harus berkawan juga
dengan satu strip obat. Empat hari yang tak terasa karena bagiku belajar itu
selalu menyenangkan apalagi bersama dengan orang-orang yang penuh suka cita
berbagi:
Hari Pertama; Mengajak mereka lebih dekat satu sama lain dengan membuat
“potret wajah kawan”, sehingga membuka keraguan untuk saling memberi dan
menerima, tentu dalam konteks substansi pertemuan ini. Dengan tiada berjarak,
kami (aku dan enal – panggilan Sainal Abidin) menggali pengalaman mereka dan
mengajak mereka mengingat dan melihat kembali kekuatan mereka dengan Kartu
Tarot. Kayak tukang ramal ya ...yang ini caranya Mbak Ijul-panggilan Julia Kalmirah
sang Guru kami ketika pertama kali berkenalan dengannya di satu pertemuan oleh
LBBT ketika aku masih bekerja di situ. Hari pertama ini berakhir dengan
berakhir dengan pernyataan mereka sendiri tentang apa itu
fasilitasi/fasilitator yang berawal dari tiga kata saja dari masing-masing
orang (dari 20 orang) dan juga sedikit amunisi bagi mereka tentang apa itu PHR
dalam konteks Kalimantan Barat dan mengapa PHR butuh keahlian memfasilitasi.
Ini sekedar mengingatkan (karena ada beberapa yang baru sekali dengan istilah
ini), dan kami dibantu Dunasta sebagai narasumbernya, mencuri waktunya yang
juga sedang sangat sibuk.
Hari kedua; memberikan sedikit konsep Vibrant Facilitator, berbasis pengalaman dan pendekatan menggunakan Asset Based-Thinking (bukannya Defisit Based-Thinking yang lazim dipakai dalam pertemuan-pertemuan selama ini). Nah, yang ini tentu bung Enal ahlinya dengan hanya melakukan duplikasi dari pengalaman fasilitasinya di beberapa daerah sebelumnya. Aku bermain dengan metaplan dan spidol warna warni yang berakhir di tembok aula pertemuan dalam berbagai bentuk seperti Mind Map, Diagram T dan juga sekedar tempelan yang berpola tetapi memuat reume dan kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh peserta untuk membantu mereka menyimak dan tidak berkutat dengan catatan mereka.
Hari kedua; memberikan sedikit konsep Vibrant Facilitator, berbasis pengalaman dan pendekatan menggunakan Asset Based-Thinking (bukannya Defisit Based-Thinking yang lazim dipakai dalam pertemuan-pertemuan selama ini). Nah, yang ini tentu bung Enal ahlinya dengan hanya melakukan duplikasi dari pengalaman fasilitasinya di beberapa daerah sebelumnya. Aku bermain dengan metaplan dan spidol warna warni yang berakhir di tembok aula pertemuan dalam berbagai bentuk seperti Mind Map, Diagram T dan juga sekedar tempelan yang berpola tetapi memuat reume dan kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh peserta untuk membantu mereka menyimak dan tidak berkutat dengan catatan mereka.
Hari ketiga; aku dan enal memberi kebebasan mereka berkreasi dengan
berbekal konsep, metode dan aplikasi yang sudah diberikan pada hari kedua.
Dalam kelompok, mereka berkesempatan untuk bernostalgia dengan pekerjaan mereka
selama ini yakni memfasilitasi tetapi dengan metode, tekhnik dan pendekatan
baru. Dan, kesemuanya berbasis
pengalaman mereka. Ada hal menarik dari setiap kelompok, mereka dengan tanpa
sengaja memilih metode role play dan menggunakan pendekatan kasus. Tetapi, ini
menunjukan realitas apa yang mereka hadapi dan lakukan selama ini tidak bisa lepas
begitu saja mendominasi cara pandang, cara kerja dan analisa mereka dalam
konteks fasilitasi. Terlihat, mereka mulai menyadari bahwa apa yang mereka
lakukan selama ini bukan memfasilitasi, cenderung sekedar (sekonyong-konyong)
seperti pemberi solusi tanpa pemahaman substansi dan konteks, menggurui dengan
teori-teori dan opini pada slide power point yang berakhir pada tanya-jawab
dimana masyarakat kurang lebih seperti gelas kosong yang mereka isi, dan tentu
saja tidak banyak berkreatifitas dengan alat-alat yang berpola dan berwarna
warni, apalagi menggunakan apa saja yang tersedia di kampung ketika “power
point” tidak bisa menyelamatkan mereka karean tidak listrik misalnya. Tapi
semua ini tidak terlalu penting, karena semua itu butuh proses dan kemauan untuk
mencoba ketika mereka pulang ke habitatnya masing-masing. Yang terpenting di
sini adalah kerelaan mereka dalam berpartisipasti penuh tanpa penolakan sama
sekali terhadap kelompok yang akan praktek fasilitasi dan memaksa mereka
terlibat berulang kali. Mereka penuh antusiasme, kadang diselingi kejailan dan
kenakalan kecil, tak berlebihan. Tanpa, mereka sebetulnya sedang menjadi guruku
yang sempurna, yakni bagaimana menghargai setiap orang dan menjadikan setiap
orang bermakna, tanpa ada yang ‘dikecilkan’ dan ‘dikucilkan’.
Hari keempat; berlanjut dengan praktek fasilitasi dengan memperhatikan
beberapa catatan dari hasil pengamatan sesama mereka dan catatan dari aku dan
enal. Kami menambahkan beberapa hal substansi dalam terkait Dinamika Kelompok,
bagaimana mereka memahami dinamika keterlibatan dalam keberagaman sebuah
kelompok dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dan cara
pandang yang berbeda pula sebagai salah satu tugas penting dari seorang
fasilitator. Ini adalah hari terakhir, dan kesan membahagiakan bagiku adalah
ketika setiap orang merasakan mereka belajar sesuatu dari proses ini. Sebuah
refleksi menarik dari beberapa orang terungkap kira-kira begini, “selama ini
kita dengan bangga merasa sebagai fasilitator, memfasilitasi dimana-mana,
ternyata kita tak lebih dari sekedar narasumber.” “Kita sudah menggunakan
metode seperti ini, tetapi belum mendalami tekhnik dan masih belum
memaksimalkan alat bantu dan jarang memperhatikan etika, seperti bahasa-bahasa
yang digunakan termasuk bahasa tubuh yang penting diperhatikan dalam
fasilitasi”.
Delapan jam sehari, dengan menyisakan waktu malam hari untuk mengendapkan segala sesuatu yang sudah kami pelajari bersama. Di hari ketiga, kami memilih menggunakannya untuk malam keakraban dengan barbeque party dengan banyak potongan ayam dan entah berapa ekor ikan ditemani beberapa minuman. Menariknya, ini juga malam yang betul-betul menstimulasi hormon endhorpine kami karena banyak tertawa mendengarkan candaan lucu hampir semua peserta secara bergiliran. Dari sini lahir beberapa istilah "akai", "ancore", dan "nakal" dibalik cerita lucu mereka. Aku juga berkesempatan hunting beberapa gambar bunga dengan lensa makro dan beberapa candid-an dengan lensa 18-24. Kalo kata Adam, "fasilitator merangkap dokumentasi", tapi sesungguhnya membiasakan diri (baca: belajar) tekhnik photografi.
Yah, itulah proses belajarku bersama kawanku enal dan 20 orang peserta ToF
yang diselenggarakan HuMa dan LBBT. Aku memberi apresiasi khusus pada kedua
lembaga ini yang telah mengobati kerinduanku pada “ruang ilmu” yang selalu
kusempatkan untuk kukunjungi. Semoga akan ada banyak kesempatan lagi berikutnya
untuk aku belajar tentang banyak hal meskipun hanya dari “halaman belakang”. Aku
tidak akan mau berhenti, karena aku tidak percaya kebenaran mutlak di dunia ini
yang bisa menghentikan prosesku berpikir dan belajar sampai mati. Tapi hanya
satu kebenaran, pada Dia.