Senin, 04 Maret 2024

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penuh dengan tekanan, membuat banyak tanya dan keraguan akan hasil akhir apakah sesuai dengan yang diinginkan. Sangat manusiawi. Lumrah pula. Pada situasi tertentu, khususnya situasi yang tidak sedang dalam dikejar target tertentu atau menjalankan dalam durasi tertentu, kita bisa menikmati saja suatu proses dengan "nothing to loose", tidak banyak ekspektasi alias "jika hasil akhir sesuai keinginan ya syukuri, jika tidak ya tidak apa-apa, tidak ada yang dirugikan". 

Sekitar 5 tahun lalu, saya membersihkan halaman. Salah satu yang saya kerjakan adalah memangkas daun-daun rimbun Peace Lily di halaman rumah. Bisa jadi lebih dari 5 tahun lalu sepertinya. Saya tidak ingat dan tidak mencatat detil, karena di kala itu, saya tidak pernah membayangkan dan tidak pula memiliki ekspektasi hasil akhir tertentu. Ya, rutinitas membersihkan halaman dengan memangkas tanaman tentu tujuannya jelas biar lebih rapi dan enak dipandang. Satu kebiasaan saya, saya merasa tidak nyaman memotong atau memangkas daun muda yang masih terlihat bagus, namun tetap harus dipangkas agar tidak terlalu rimbun dan invasif. Saya mengambil beberapa helai daun Peace Lily dari tumbuhan yang masih belum terlalu dewasa, karena masih terlihat sangat mengkilap dengan hijau tua yang mengkilap. Saya meletakan 5 helai daun ke dalam toples kecil yang sudah saya isi air dengan tangkai daun tercelup ke dalam air dan helai daun menyembul keluar dari toples. Lima helai daun cantik itu menjadi penghuni kamar mandi dan toliet. Sekali-kali air diganti untuk menghindari sebagai wadah berkembang jentik dan bersarangnya nyamuk. Seiring waktu, dengan rutinitas mengganti air, tidak ada sinar matahari, saya juga paham bahwa yang sangat mungkin terjadi adalah daun-daun itu satu persatu akan menguning atau coklat, mati dan saya buang. Kemudian, saya akan ganti baru. Benar, persis seperti yang saya yakini, daun satu persatu berwarna coklat dan mati, tidak indah lagi. Namun, mereka membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai pada proses berubah warna sampai membusuk dan dibuang. Prosesbta dalam hitungan bulan bahkan tahun. Dan, dari lima helai, 3 daun masih bertahan dengan pasti, sampai suatu hari, sekitar 3 tahun helai daun menghuni toples. Saya menemukan ujung tangkai dari 3 helai daun mengeluarkan serabut halus panjang yang semakin hari semakih banyak. Proses mengeluarkan serabut ini terus saya amati tanpa saya tahu apa berikutnya. Saya menikmati saja. 


Peace Lily (Spathiphyllum)

Sekitar tahun 2021, saya melihat serabut itu semakin banyak, dan saya tetap tidak memikirkan apa-apa tentang apa berikutnya. Saya menikmati saja. Sampai pada awal 2022, saya melihat muncul warna hijau dari serabut dengan ukuran yang sangat kecil. Semakin hari semakin memanjang dan membentuk batang dan daun mungil sekali berada di dalam air di dasar toples diantara akar serabut yang semkain banyak. Dan, saat itu saya sudah berani mengatakan kalau serabut banyak itu adalah akar yang berkembang dalam air, mengalami proses propagasi atau perbanyakan alami. Warna hijau daun dan tangkai mungil dari dasar air di dalam toples terus bertambah banyak dan bertambah tinggi sampai melewati permukaan air di dalam toples dan berakhir dengan menyembul sebagai anakan Peace Lily dari helai daun, seperti yang terlihat di gambar. Gambar itu saya ambil pada February 2024. Lima helai daun itu sudah bermetamorfosis menjadi anakan Peace Lily.  Setelah lima tahun lebih, saya baru tahu, bahwa secara sengaja tanpa maksud atau tujuan tertentu, saya sudah melakukan perbanyakan/propagasi secara alami. Saya sangat bahagia telah melewati proses dari helai daun menjadi banyak anakan. Dari proses ini, saya berpikir, kebahagiaan itu hadir membutuhkan kerelaan dan ketekunan menjalani pilihan tanpa merasa tertekan, melainkan menikmati saja. Apakah itu terlalu sederhana atau receh?. Tidak. Terlihat sangat sederhana apabila kita hanya mengandalkan apa yang terlihat pada foto, tanpa mengikut bagaimana proses saya selama 5 tahun lebih. 

Oh ya, dalam tulisan ini ada 'gap' antara bagaimana setiap helai dari 5 helai daun itu kemudian tertinggal hanya satu yang bertahan sampai sekarang. Sebenarnya, sampai awal 2024 (mungkin January akhir) hanya dua helai daun yang bertahan sampai semua anakan itu menyembul keluar dari dalam toples. Satu helai saya "pensiunkan" January 2024. Dan, tinggal satu seperti terlihat di gambar, tinggal menunggu waktu. Namun, seandainya bisa bicara, satu helai daun tersisa ini mungkin akan berkata, "Sudah tiba waktuku, sudah lunglai dengan tabah, bahwa tunas-tunas telah mengambil alih masa dengan bangga".

Bagi saya, inilah sebuah analogi kehidupan. Tidak ada yang sia-sia di muka bumi. Yang sia-sia hanyalah ketidakmampuan kita menumbuhkan rasa bahagia dan damai dalam diri karena banyak "ingin" yang tak berakar kuat. Seharusnya kita mengenali akar, percaya saja bahwa bibit unggul tertanam seperti benih bernas yang tersembunyi pada setiap diri kita. Hanya ketekunan dan ketangguhan berproseslah yang dibutuhkan. Namun, itu juga tidak sederhana. Komitmen pada diri untuk keluar dari tekanan apapun, tapi bukan yang dari luar, melainkan dari dalam diri. Apa tekanannya?. Merasa cukup, sehingga tidak mau terus belajar. Merasa penuh, sehingga mengabaikan saja proses karena sudah menyimpulkan dini hasil dari proses. Daaaan...banyak lagi. 


Pontianak, 4 Maret 2024 


Jumat, 23 Februari 2024

CLBK (Camera Lama Bersemi Kembali)

"Mungkin aku akan mulai dengan share pengalamanku menghadapi situasi pandemi mulai dari ikut-ikutan mencoba berbagai resep kue, merawat koleksi tanaman di halaman lengkap dengan foto-foto cantiknya - mesti akrab lagi dengan kamera dan lensaku yang sudah lama nganggur, dan mungkin juga share tentang pekerjaan baruku. Kita lihat saja nanti. "


2022 saya menulis (tak terselesaikan dan tersimpan di draft):

Saya terpaksa membayar "hutang" omongan sendiri seperti pada kutipan di atas dari tulisan saya pada tanggal 6 Agusutus 2021 (hari ini sudah satu tahun lebih tepatnya). Hutang menulis di blog singkatnya. Namun, sekaligus hutang untuk akrab lagi dengan lensa alias motret. Sulit sekali ya ternyata. Ya, CLBK itu tidak gampang sesungguhnya. Jika ada yang menjalaninya dengan gampang, pastilah pada prosesnya ada masa untuk penyegaran atau sekedar kepo-kepoin. Hush...ini bukan tentang Cinta Lama Bersemi Kembali, lihat judul. Jika ilustrasinya pas, percayalah itu hanya kebetulan. 

Karena topiknya adalah Camera Lama Bersemi Kembali, saya ingin berbagi tentang bagaimana peroses bersemi kembalinya itu butuh usaha yang tidak gampang. Bagian ini memang sepertinya cocok ilustrasinya dengan tema cinta. Bukan berarti aku pernah ngalamin lho, makanya ada kata "sepertinya". Kameraku sudah lama tidak kusentuh sejak bulan Juli 2020. "Udah belumot kali bende tu," mungkin begitu istilah dalam bahasa Melayunya ATAU "nyau jadi jukut utai nyak", istilah dalam bahasa Dayak Demam.

Aku tidak tahu persis kapan mulai memegang kamera Canon EOS 60D ini. Yang jelas, ini kamera longsoran dari Mr. Husband yang sudah punya gebetan baru tipe 5D dan 7D dari product yang sama. Pada tulisanku kali ini, aku ingin berbagi foto saja deh yang pernah kuintip melalui lensa kamera ini. Tujuannya, sekedar memberi apresiasi kepada jerih payah diri dan juga shutter si kamera. Setidaknya, bekas ia pernah berjasa mengabadikan moment dan cerita dalam gambar tersimpan jika suatu saat aku harus merelakan ia karena tidak mampu lagi merekam semua karena uzur. Berikut adalah foto-foto yang pernah saya ambil dengan kamera ini, dengan lensa 18-200 mm bawaannya, kadang-kadang menggunakan macrolens 100mm untuk object mungil.  Kadang, saya suka mengambil panorama dengan lensa fix 50mm. Beberapa foto pernah tayang di sosial media saya. 

2023 saya lupa dengan omongan saya sendiri kepada saya sendiri dalam bentuk tulisan

Tahun yang sangat sibuk kesannya sampai saya tidak meninggalkan sedikitpun jejak di halaman ini. Padahal, 2023 adalah tahun aku paling konsisten tidak kemana-mana dalam artian bepergian jauh dari rumah, namun justeru saya tidak punya waktu untuk menulis karena saya menghabiskan waktu untuk menulis. Maksudnya, saya tidak punya waktu menulis di blog ini, karena saya menghabiskan wkatu untuk menulis mereivew dan menulis laporan sebagai bagian dari pekerjaan utama. Saya mengalami proses penyesuaian yang cukup sulit dari bekerja secara "remote" dari tahun 2019 kemudian harus manut dengan jam kerja "nine to five" dari Senin - Jumat sejak tahun 2022. Inti sebenarnya adalah saya sulit mengatur waktu, atau tidak memberi waktu mungkin lebih tepatnya. dan....zonk!!!. see...nothing!!!

dan...time flies, waktu serasa cepat sekali berlalu. Hari ini, 23 Februari 2024. Saya teringat, sering seklai saya merasa membawa kembali "ransel Dora Emon' saya, ransel penuh saya. Istilah yang paten saya gunakan untuk mengilustrasikan kepala saya yang sudah terasa penuh dan sampai merasa tidak bisa berpikir lagi. Sepertinya, saya tidak akan menuliskan apa2 juga pada hari ini. Hanya sekedar untuk tidak membiarkan draft ini berusia 3 tahun saja. Saya teringat, ada foto-foto yang saya ambil pertama kalinya setelah sekian lama seperti yang saya tulis di paragraf awal, sekitar tahun 2020, saya tidak pernah lagi menggunakan kamera saya. Tahun 2022, saya kembali menggunakannya, dan menemukan tangan ini sudah sangat kaku, belajar lagi dari awal soal tekhnik dasar yang tidak pernah naik level, tetap di dasar da kemudian belajar dasar lagi. Selain soal tekhnis, yah karena faktor "U' juga barangkali baik buat saya maupun kameranya, saya mendapati view screennya befungsi dengan baik, demikain pula lensanya tidak lagi jernih. Untungnya, hasilnya masih lumayan. Daaan...di bawah ini adalah foto-foto yang saya ambil pertengahan 2022, mungkin Agustus. Sebuah perjalanan kerja ke Ende-Flores, dimana saya dan bersama tim menyempatkan pergi ke Kelimutu. Ehm...mau nulis tentang trip ini khusus enggak ya .... entahlah, sepertinya lebih baik tidak berjanji lagi. Nikmati saja foto-fotonya deh. 


Ini salah satu danau yang airnya berwarna hitam, persis di sebelah kiri jalan naik ke puncak


Ini adalah danau/kawah yang berdampingan warna hijau (bagian bawah yang sedikit saja terlihat) dan warna biru (bagian tengah). Tidak terltihat jelas beda warnanya, karena saat foto diambil ia ditutupi kabut putih. Untuk mendapatkan objek bisa terlihat jelas, saya harus naik di pagar yang saat itu riskan sebab angin juga kencang. 



Pada akhirnya, hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, sempat terlihat di atas danau kabut mulai menipis, sehingga saya bisa mendapatkan dua gambar di atas. Cahaya matahari yang mulai naik membantu lighting alami. Sayang sekali, angin masih kencang dan saya tidak ingin kehilangan moment. Yang tadinya saya ingin mengganti lensa tapi memutuskan tidak. Semua foto ini saya ambil dengan lensa fix 50mm



Dua gambar ini adalah gambar kesukaan saya dan pernah sangat lama berada di wallpaper desktop, bahkan foto di atas masih menjadi wallpaper default browser yang saya gunakan. 

Baiklah, sepertinya untuk pemgingat sudah cukup. Setidaknya, ada foto-foto ini yang tidak membuat muram halaman ini ya. Semoga diriku kembali menjadikan menulis sebagai healing, releasing system atau clear management or whatever. 









Kamis, 08 September 2022

Zonasi: Penerimaan Siswa Baru berbasis Zona Terdekat

Tahun ajaran 2019/2020, Menteri Pendidikan Muhajir Effendi sudah memastikan Penerimaan Peserta Didik Baru secara online berbasis zonasi. Tahun ini pula, Si Sulung akan turut merasakan kontestasi dengan siswa-siswi lain yang juga bersiap menggunakan seragam putih-biru (SMP). Sama halnya dengan SD, Si Sulungpun sudah disiapkan untuk masuk ke sekolah negeri. Alasan ini bukan semata karena soal biaya di negeri yang gratis tetapi dari awal kami sebagai orang tua ingin anak-anak bersekolah di tempat yang lebih beragam. Itu saja. Meskipun, ada banyak catatan penting juga terkait harapan kami ini. Sekolah negeri memang memungkinkan banyak anak dari latar belakang beragam bersekolah, tetapi dalam beberapa hal, lingkungan sekolah juga dibentuk seakan-akan mereka semua seragam, misalnya, ketika berdoa di kelas, akan didominasi cara berdoa agama mayoritas. Ini adalah soal lain lagi. Saya akan kembali ke zonasi.

Dalam sistem zonasi, jarak dari rumah ke sekolah yang dipilih menjadi pertimbangan utama penerimaan peserta didik. Jadi, bukan siapa cepat - dia dapat, melainkan siapa paling dekat - dia dapat. Namun, sebenarnya ada dua jalur yang menjadi opsi bagi orang tua yakni jalur zona atau jarak itu sendiri dan jalur prestasi. Untuk anak-anak yang berprestasi, bisa mendapat previllage untuk diterima. Namun, tidak diperkenankan pindah setelah memutuskan memilih salah satu jalur saat awal pendaftaran. Selain itu, penerimaan peserta didik juga memberi prioritas pada kelompok inklusif (anak-anak dengan kondisi khusus seperti pemegang KIP atau surat keterangan sebagai anak dari "keluarga harapan" (Dulunya dikenal dengan istilah surat keterangan miskin atau surat keterangan tidak mampu) dari kelurahan. Termasuk juga didalamnya adalah anak-nak dari orang tua yang pindah bekerja atau mobile working seperti anggota TNI/Polri atau anak diplomat. 

Saya tidak akan mengulas banyak tentang substansi dari peratura tentang zonasi karena bisa dperoleh dengan sangat gampang dengan berselancara saja di mesin pencari. Saya hanya ingin menyoroti bagaimana sistem ini dari kacamata saya sebetulnya upaya yang baik dari pemerintah untuk perlahan menghilangkan kesenjangan antar sekolah yang dianggap berkualitas dengan yang tidak, utamanya di sekolah negeri. Istilah sekolah favorit versus sekolah buangan menjadi tidak relevan lagi dengan adanya sistem zonasi. Tentu saja ini tidak berlaku bagi sekolah swasta. Singkatnya,  saya melihat bahwa kebijakan ini lebih mmberikan jaminan akses terhadap fasilitasi pendidikan yang lebih mudah bagi setiap anak yang memang hak atas pendidkannya dijamin oleh Undang-undang. Di samping itu, untuk SMP sendiri merupakan paket dari pendidikan dasar dan wajib. Harus ada terobosan terus menerus yang mempermudah setiap anak usia sekolah di berbagai tempat sampai ke pelosok untuk bersekolah. Terobosan yang ada harus memberi kontribusi terhada menurunnya angka anak tidak sekolah di usia sekolah (meskipun ada banyak variabel lain sebagai faktor penyebab ini). 

Kembali ke si sulung, ia juga turut berkontestasi di jalur sistem baru ini. Kami orang tua terlalu yakin bahwa rumah kami sudah cukup dekat dengan sekolah pilihannya, sehingga memutuskan memilih jarak/zona. Saya sempat menyarankan agar, menggunakan prestasi saja, tetapi Mr. Daddy bilang,  "udah ah, kasi aja ke teman-temannya yang berprestasi juga namun di bawah dia, barangkali pilih sekolah yang sama dan jarak rumahnya lebih jauh. Jika masuk dalam 5 besar di sekolah seperti si sulung, khan punya kans yang sama." Begitulah disampaikannya meski tidak sama persis. Dan, semua dilewati sesuai dengan yang telah kami sepakati, juga atas persetujuan si sulung. Alhasil, di hari pertama mendaftar, si sulung sudah terlempar ke sekolah pilihan ke-2. Kami melihat, secara berurutan dari 1-35 (artinya sama dengan satu kelas) sudah didominasi oleh pemegang masuk dalam klasifikasi "inklusi" dan diikuti jarak yang lebih dekat daripada jarak rumah kami ke sekolah. Sudah bisa ditebak, masuk sekolah impian pupus. Tentu saja proses seleksi akan mengikut prosedur standa: tidak lolos pilihan pertama, otomatis "terlempar' ke pilihan kedua, dan seterusnya ketiga, jika ada 3 pilihan sekolah. Si sulung sudah patah arang, toh pilihan kedua dan ketiga juga sebetulnya hanya mengisi bagian opsi saja. Pilihan sebenarnya ya cuma satu, pilihan pertama dengan banyak pertimbangan dimana salah satunya ya jarak dari rumah. 

Mr. Daddy sempat menanyakan soal ke sekolah, apakah ada peluang untuk berubah ke jalur prestasi saja, untuk setidaknya menunjukan upaya "betapa kami mencoba memfasilitasi dengan baik minat si sulung (sejujurnya, dia juga berharap mendaftar melalui jalur prestasi awalnya, dan ini sempat membuat Mr. Daddy sangat merasa bersalah). Upaya ini tidak berhasil. Dan, Kepalal Sekolah sudah benar, karena memang aturannya seperti itu. Akhirnya, si sulung kami daftarkan di sekolah swasta terdekat rumah. Diapun perlahan mulai menerima kenyataan. Di tengah kami sedang mengurusi administrasi di sekolah swasta itu, ternyata ada penambahan waktu (gelombang) pendaftaran, dan kami diinformasikan bahwa kami bisa daftar lagi ke sistem dan merubah masuk dengan skeam zona menjadi skema prestasi. Namun, harus menghadap ke Dinas Pendidikan. Akan tetapi, kami berpikir, sudahlaahh...lupakan saja. Si sulungpun, tidak mau lagi "kembali" meski sebenarnya "masih ingin". Kayak judul film ya... 

Yang menarik dari proses ini adalah ketika selesai penerimaan, ada begitu banyak cerita (cerita lo ya, belum tentu fakta dan saya juga tidak sedang menduga-duga apalagi menganggap ini kebenaran) tentang upaya serupa yang dilakukan orang tua lain. Mulai dari upaya yang membuat nyesek seperti membuat surat keterangan tidak mampu untuk mengambil kuota skema "inklusi".  Ada juga yang ceritanya datang ke Dinas meminta perubahan untuk kasus yang seperti anak saya. Dan, ada juga cerita tentang yang sampai jauh-jauh hari sudah membuat "tumpangan alamat" di jarak yang lebih dekat dengan sekolah (kalo yang ini sih, saya tidak percaya sama sekali, karena artinya haru memalsukan KK donk...). 

Begitulah bagaimana sebuah sistem dalam pendidikan yang diciptakan sangat besar pengaruhnya bagi warga negara yang punya hak atas pendidikan itu. Namun, sekali lagi bahwa membangun sebuah sistem baru seperti ini setelah berpuluh-pulih tahun dengan 'cara lama', bermodal niat baik pemerintah saja tidak cukup. Proses sosialisasi harus betul-betul memastikan menjangkau sebanyak-banyaknya sasaran dan melibatkan banyak pihak agar tidak ada gagal paham dan salah kaprah. Orang tuapun harus mempersiapkan diri dan membiasakan diri cepat beradaptasi dengan perubahan seperti ini. Saya meyakini, memilih sekolah buat anak-anak bukan sekedar yang penting sekolah, tetapi harus menjadi bahasan serius antara orang tua-anak. Bukan menjadi maunya orang tua saja ataupun maunya anak saja. Untuk itu, saya menyimpulkan bahwa urusan mencari atau memilih sekolah bagi anak itu bukan urusan yang mudah😍. 

Semoga ini menjadi pelajaran ke depan buat kami orang tua.




Jumat, 06 Agustus 2021

Jenguk Halaman - Lama Gak Nulis

Lama aku tidak main-main di halamanku ini. Aku lebih banyak bermain-main di halaman rumah dengan tanamanku sepertinya. Jika dilihat, tidak ada yang terekam sama sekali di tahun 2020. Jujur, tulisan inipun sebetulnya draft yang hanya berisi tulisan sepotong dan tak hendak dilanjutkan. Entahlah, mandek begitu saja. Kekuatan pikiran tidak mampu menggerakkan jari-jari menulis. Semakin banyak yang ada di kepala untuk ditulis, semakin lelah fisik merangkainya dan menguap begitu begitu saja. Momen yang terekam dan selalu ingin kuanalisis sederhana tanpa embel-embel ini-itu sebagai acuan, seringnya terlewat begitu saja. Menguap sampai tak berjejak, bahkan terkadang persis seperti mimpi yang terlupakan begitu bangun dan menghadapi realita. 

Mawar: salah satu kawan main di halamanku

Detik inipun aku masih belum tuntas dengan apa yang akan kutulis. Halaman draft ini juga sudah berganti-ganti tema yang tadinya isinya hanya satu paragraf. Aku ingat, draft pertama adalah tentang sistem zonasi penerimaan siswa baru untuk SMP dan SMA, yang kala itu anakku menjadi salah satu korban sistem zonasi. Dia tidak bisa masuk ke SMP negeri yang ia inginkan. Aku pernah menyarankan kepada si bapak yang mengurusi semua pendaftaran untuk masuk menggunakan jalur prestasi saja mengingat anakku selalu menempati lima besar dari semester awal SD dan dua besar di level Ujian Nasional. Si Bapak bilang, "tidak usah, tempat tinggal kita sudah sangat dekat dengan alamt sekolah. Mending jalur prestasinya digunakan kawan lainnya yang berprestasi di bawah peringkatnya dan ingin juga masuk ke sekolah negeri dengan berbagai pertimbangan, apalagi jika kondisi ekonomi menjadi pertimbangan".  Ketika itu, aku tidak banyak mengambil peran karena sedang berada di Melbourne mengikuti program kursus singkat untuk isu kepemimpinan perempuan. Singkat cerita, anakku tersisih di sekolah negeri yang diinginkannya karena pilihan mengikut jalur zonasi, bukan prestasi telah menempatkan ia jauh tersingkir. Kemudian, berakhirlah ia di sekolah swasta. Nah, dalam draft tulisan yang sudah aku hapus itu (sepertinya, suatu saat tetap akan dilanjutkan - entah kapan), aku sempat memasukan beberapa hal terkait dengan dilema sistem zonasi bagi orang tua dan bagaimana kebijakan pemerintah seakan tidak matang ketika sampai pada implementasinya: dinas pendidikan dan sekolah utamanya di daerah banyak yang belum siap, terkesan gagap, apalagi orang tua. Stop di situ, tulisan itu aku hapus. 

Draft kedua, aku juga menulis sekitar satu paragraf tentang bagaimana aku ngotot bertahan hidup tanpa bekerja dan tanpa gaji ketimbang menerima satu kontrak pekerjaan baru yang alasan penolakannya tidak ingin kusampaikan. Sebelumnya,segala sesuatu terlihat sangat tepat pada waktunya. Bagaimana tidak, di saat kontrak pekerjaanku selesai, aku mendapat beasiswa kursus di Australia. Hitung-hitung belajar sambil refreshing gratis, setidaknya merasakan belajar sebentar di salah satu kampus di sana, toh, mimpi mengambil program Master sudah menguap juga seperti halnya draft tulisan yang selalu aku hapus, sepertinya tidak akan ada banyak peluang lagi merasakan belajar di negara lain. Ditengah mengikuti program kursus, aku dikontak, diwawancara untuk sebuah pekerjaan yang berujung dengan diterima dan persis setelah selesai program kursus aku bisa langsung bekerja dan bergaji. Terlihat begitu tepat pada waktunya, bukan?. Namun, itu tidak terjadi. Aku menolak kontrak yang ditawarkan, bukan karena gajinya tetapi lebih kepada hal lain yang prinsipil. Aku ditawarkan gaji persis dari gaji di pekerjaanku sebelumnya. Berhenti di situ, draft itu sudah kuhapus juga. 

Saat ini, aku tidak akan menjadikan ini berhenti di draft dan menghapusnya seperti yang kuceritakan di atas. Aku ingin menulis lagi dengan bebas nilai. Terkadang, aku merasa bertindak tidak adil dan melakukan pembodohan terhadap diriku sendiri dengan melewatkan begitu saja segala sesuatu tanpa jejak. Padahal, di saat-saat seperti dua tahun terakhir ini begitu banyak situasi yang membutuhkan kemampuan untuk bertahan (resillienced) dan melegakan atau menenangkan diri (relief) dengan menulis. Sebut saja salah satu  situasi itu adalah guncang badai pandemi Covid-19 yang bermula di pertengahan Maret 2020 lalu untuk di Indonesia, dan sampai hari ini masih mengukir sejarah kedukaan global. Yang lain... nah...jangan-jangan ini salah satu pemicu lama tidak menulis, aku tidak punya laptop. Laptop rusak. Aku memakai laptop kantor yang harus dikembalikan ketika kontrak selesai pertengahan 2020. Uang belum cukup membeli laptop baru, karena ada peruntukan yang lebih mendesak  seperti perawatan dan dua kali operasi tangan anak sulung serta perawatan gigi serius anak kedua.  

Ya, dari kecil, aku terbiasa menjadikan menulis sebagai pelepasan (releasing) banyak hal, utamanya emosi yang tidak terkendali, ekspektasi terhadap sesuatu yang terkadang berlebih dan tidak bisa ditunda sering memerangkap isi kepala dan membuat susah tidur, pegalaman unik yang tak ingin kulewatkan, pembelajaran hidup yang berharga dan banyak lagi, yang mana tulisanlah tempat pelarianku tanpa penghakiman (judgment). Toh, tujuan halaman mainku ini untuk curhat saja. Jika ada yang mampirpun, ya tidak apa-apa. Ada banyak orang yang bisa belajar dari cerita kehidupan yang bahkan dianggap konyol dan tidak penting bagi orang lain. Setidaknya, itulah yang bisa dicapai dari curhatanku dan bukanlah target, sehingga pengikut dan statistik tayanganpun bukan tujuan. Itu tak lebih seperti buku tamu di saat berkunjung saja. 

Lucu juga, ilustrasinya, seperti lama tidak pulang kampung saja. Lama tidak jenguk halaman blog, seperti lama membiarkan koleksi tanaman di halaman rumah tak bertambah, bahkan yang adapun perlahan layu sampai ada yang mati. Baiklah, sebagai pengingat untuk diri, penting untuk memulai lagi dengan hal-hal yang ringan. Mungkin aku akan mulai dengan share pengalamanku menghadapi situasi pandemi mulai dari ikut-ikutan mencoba berbagai resep kue, merawat koleksi tanaman di halaman lengkap dengan foto-foto cantiknya - mesti akrab lagi dengan kamera dan lensaku yang sudah lama nganggur, dan mungkin juga share tentang pekerjaan baruku. Kita lihat saja nanti. 


  

Selasa, 12 November 2019

Bunga Matahari (Helianthus annuus)

Photo by: Sentot
Bunga Matahari tentulah tanaman hias yang sangat popular diketahui banyak penduduk bumi alias bunga sejuta umat. Negara seperti Ukraina menjadikannya sebagai bunga nasional, sedangkan negara bagian Kansas, Amerika Serikat menjadikannya sebagai bunga resmi (sumber: wikipedia). 

Yang sangat tidak umum adalah bagaimana saya pada akhirnya menanam bunga ini. Saya pernah menuliskan tentang bunga Tetepok, dan bibit biji bunga matahari pada gambar ini kuperoleh satu paket dengan bunga Tetepok. Jika bunga matahari itu sangatlah umum, maka yang tidak umum adalah cara saya memperolehnya. Nah, di sini aku ingin menceritakan kembali secara singkat.

Dari 10 biji yang tumbuh cukup baik dan berbunga cuma satu pohon. Satu ini juga akan memberiku lebih dari 10 biji bibit utk diranam kembali. Oh ya, 10 biji bibit itu adalah pemberian seorang bapak tukang kebun di salah satu resto yang juga menjual bibit bunga. Awalnya aku membeli bunga dan bibit sedap malam, lalu berharap membeli bibit bunga matahari, tapi ternyata tidak ada dijual. Saat hendak pulang, dia menyodorkan 10 biji bibit. "Ini saja yang ada, coba saja ditanam Mbak, mungkin bisa hidup." Aku juga diberi bibit tetepok dan kejibling. Tetepoknya sudah punah dimakan oleh ikan di kolam, sedangkan Kejiblingnya masih tumbuh dengan hijau. 

Sebagai terima kasihku, aku memberi tahu nama beberapa jenis bunga yang ia tanam tapi ternyata dia sendiri tidak tahu namanya, seperti torenia dan bromelia. Aku menyarankan Si Bapak untuk membuat name tag untuk semua kolekasi tanamannya. "Biar kalo Bapak ditanyai calon pembeli atau pelanggan, Bapak bisa jawab, " ujarku sambil berlalu.
Oh ya, dibawah satu tangkai bunga mekar itu ada dua kuntum calon bunga lagi.

Senin, 11 November 2019

LENSAKU #2: Dibalik Short Term Awards Program Australia Awards Indonesia


1. Lampion Kertas Novel Bekas

Objek menarik ini aku temui di Red Spice Road Restaurant, dirangkai setengah lingkaran pada lampu yang menempel di tembok. Di bawahnya, kami berasa dalam makan malam yang romantis dengan temaram cahaya bergradasi kuning emas berasal dari pantulan kertas novel bekas yang berwarna coklat, sepertnya kertasnya juga daur ulang. Makan di sini mengingatkan untuk mendaur ulang sampah. Nah, kalo apa yang sudah aku makan di sini gak bisa didaur ulang.


Gambar 1. Jalinan Kertas Bekas Novel sebagai Lampion Lampu

2. Yoga Mate Warna-warni

Ruang pertemuan, baik itu ruang rapat, ruang pelatihan ataupun ruang diskusi hendaknya tidak kaku karena akan membuat jenuh terkungkung dan ngantuk. Kondisi ini perlu disiasati dengan menciptakan susana cair. Bagaimana mencairkan suasana?. Salah satunya adalah dengan menempatkan objek yang berwarna-warni dengan pola yang beragam, bisa dalam bentuk kertas yang bentuknya sudah dikreasi berbagai bentuk, lukisan berbagai tema, cat warna berbeda pada masing-masing sisi tembok, tanaman indoor, poster yang artistik, dan banyak lagi. Gambar yang satu ini bisa jadi satu alternatif, tumpukan matras yoga warna-warni. Iya, aktifitas yoga sederhana sendiri bisa dijadikan ice-breaking atau pembangun suasana, setidaknya duduk saja bersila, lalu breath-in, breath-out. Sederhana khan membuat betah di ruang pertemuan.



Gambar 2. Matras Yoga di Ruang Pelatihan

3. Kaki Meja Ukiran Kayu

Kayu adalah adalah salah satu media menarik untuk seni ukir atau pahatan dalam bentuk apapun. Gambar ini adalah satu sudut yang sekaligus merupakan kaki meja sebenarnya. Setiap penjuru kaki meja di salah satu ruangan Gedung Parlemen Victoria ini dibuat dalam bentuk pahatan singa dari kayu, dilapisi pernis berwarna gold kecoklatan.


Gambar 3. Pilar Meja berukir Singa

4. Sudut Plafon Penangkap Cahaya 

Ini masih dalam ruangan yang sama dengan meja dalam foto nomor 3, berada di Gedung Parlemen Victoria. Fokus dari foto ini adalah ukiran pada tembok plafon pemerangkap cahaya matahari dari atas. Setiap tembok di ruangan gedung ini, menurut guide person kami memang dilapisi emas (emas beneran lho...). Lihatlah pantulan cahaya dari tembok berapis emas ini. Ukiran-ukiran yang begitu banyak itu (hanya satu sudut ini yang aku ambil, biar ga kebanyakan, dan pembaca juga bosan ntar) potongan peristiwa-peristiwa perbudakan dan kerja paksa rakyat untuk menambang emas di zaman kolonialisasi.
Gambar 4. Sudut Plafon Keemasan di Gedung Parlemen Victoria, Melbourne

5. Patung Queen Victoria

Inilah objek yang pertama kali kita jumpai jika berkunjung ke Gedung Parlemen. Patung Ratu Victoria dengan mahkota dan memeganga tongkat. Ini merupakan simbol kebesaran kekuasaan yang dimiliki oleh Ratu Victoria pada masa itu.
Gambar 5. Patung Queen Victoria di Gedung Parlemen

6. View Musim Dingin di Hadapan Gedung Parlemen Victoria

Ini adalah view dijalan Bourke Street. Foto ini saya ambil dengan persis berdiri di tangga depan gedung parlemen Victoria yang berada di Spring Street. Suasana terlihat teduh karena sedang hujan gerimis di musim dingin kala itu. Lihatlah pohon-pohon yang terlihat kaku tapi tidak membeku itu, pertanda sedang musim dingin atau lepas musim gugur di negeri ini.
Gambar 6. "Bourke Street" di Depan Gedung Parlemen Victoria

Senin, 04 November 2019

LENSAKU #1: di Balik Program Short Term Awards Australia Awards Indonesia, Nomer 2 Membuat Pengen Nyebur

Welcome November!!!!

Oktober telah berlalu, aku begitu masih menyimpan segar ingatan moment dua minggu di Melbourne, Asutralia. Kali ini, aku ingin membagi foto-foto cantik dan unik selama mengikuti program mulai dari pra kursus, kursus sampai ke pasca kursus. Semua foto saya ambil dengan kamera Sony Nex 5. Oh ya, dalam program kursus, kami, para peserta memang sangat dianjurkan untuk mengambil sebanyak-banyaknya gambar atau foto dari setiap moment. Semua foto adalah karya saya sendiri, bebas untuk digunakan untuk keperluan non-komersil dengan mencantumkan credit photo-nya atas nama Iwi Sartika atau Ruaimana. Maklumilah segala kekurangannya karena aku ini bukan pro photographer, melainkan pembelajar yang senang dengan segala masukan.

1. Lampu dan Lampion Rotan
Lampu-lampu ini menggantug di lobby restoran Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta. Lampu ini menerangi lobby yang begitu luas ditata dengan meja dan kursi di pelataran yang persis bersisian dengan kolam renang yang di dekor dengan perahu yang diisi dengan berbagai macam buah-buahan di malam hari. Di pinggir kolam juga diisi dengan gerobak-gerobak berbagai makanan seperti bakso dan soto serta minuman seperti Es Krim Turki. Lampu yang menggantung ini tentu biasa, tetapi tidak dengan lampionnya atau kurungan lampu yang unik. lampion ini lebih menyerupai keranjang, terdiri dari jalinan rotan berbentuk kurva terbalik dengan bolongan di atas agar memunginkan menutupi bola lampu.  


2.Poolside dan Perahu Apung Buah
Objek di tengah adalah perahu yang mengapung di kolam renang bermuatan buah Durian. Sudut perahu lain di sebelah kiri sebenarnya bermuatan aneka buah seperti semangka, melon, dan laiin-lain. 


3. Corner Decor dengan Miniatur Perahu, Keranjang dan Etalase Buah
Ini adalah decor interior hotel persis di samping kiri pintu masuk ke restoran dari arah dalam. Sepertinya, ini di dekor khusus untuk bulan Ramadhan, karena pada kunjungan berikutnya, saya tidak menjumpai lagi dekor seperti ini. 



4.Lampu Ruang Pertemuan
Bola-bola lampu kecil ini menggantung di bagian tengah palfon atas salah satu ruang pertemuan kami. tentu saja penerangan utama berasal dari lampu neon yang tertutup dalam bentuk segi empat di atas. Bola lampu kecil berbentuk melingkar hanya menambahkan nuansa artistik ruangan ini agar tidak kaku.




Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...