Kamis, 08 September 2022

Zonasi: Penerimaan Siswa Baru berbasis Zona Terdekat

Tahun ajaran 2019/2020, Menteri Pendidikan Muhajir Effendi sudah memastikan Penerimaan Peserta Didik Baru secara online berbasis zonasi. Tahun ini pula, Si Sulung akan turut merasakan kontestasi dengan siswa-siswi lain yang juga bersiap menggunakan seragam putih-biru (SMP). Sama halnya dengan SD, Si Sulungpun sudah disiapkan untuk masuk ke sekolah negeri. Alasan ini bukan semata karena soal biaya di negeri yang gratis tetapi dari awal kami sebagai orang tua ingin anak-anak bersekolah di tempat yang lebih beragam. Itu saja. Meskipun, ada banyak catatan penting juga terkait harapan kami ini. Sekolah negeri memang memungkinkan banyak anak dari latar belakang beragam bersekolah, tetapi dalam beberapa hal, lingkungan sekolah juga dibentuk seakan-akan mereka semua seragam, misalnya, ketika berdoa di kelas, akan didominasi cara berdoa agama mayoritas. Ini adalah soal lain lagi. Saya akan kembali ke zonasi.

Dalam sistem zonasi, jarak dari rumah ke sekolah yang dipilih menjadi pertimbangan utama penerimaan peserta didik. Jadi, bukan siapa cepat - dia dapat, melainkan siapa paling dekat - dia dapat. Namun, sebenarnya ada dua jalur yang menjadi opsi bagi orang tua yakni jalur zona atau jarak itu sendiri dan jalur prestasi. Untuk anak-anak yang berprestasi, bisa mendapat previllage untuk diterima. Namun, tidak diperkenankan pindah setelah memutuskan memilih salah satu jalur saat awal pendaftaran. Selain itu, penerimaan peserta didik juga memberi prioritas pada kelompok inklusif (anak-anak dengan kondisi khusus seperti pemegang KIP atau surat keterangan sebagai anak dari "keluarga harapan" (Dulunya dikenal dengan istilah surat keterangan miskin atau surat keterangan tidak mampu) dari kelurahan. Termasuk juga didalamnya adalah anak-nak dari orang tua yang pindah bekerja atau mobile working seperti anggota TNI/Polri atau anak diplomat. 

Saya tidak akan mengulas banyak tentang substansi dari peratura tentang zonasi karena bisa dperoleh dengan sangat gampang dengan berselancara saja di mesin pencari. Saya hanya ingin menyoroti bagaimana sistem ini dari kacamata saya sebetulnya upaya yang baik dari pemerintah untuk perlahan menghilangkan kesenjangan antar sekolah yang dianggap berkualitas dengan yang tidak, utamanya di sekolah negeri. Istilah sekolah favorit versus sekolah buangan menjadi tidak relevan lagi dengan adanya sistem zonasi. Tentu saja ini tidak berlaku bagi sekolah swasta. Singkatnya,  saya melihat bahwa kebijakan ini lebih mmberikan jaminan akses terhadap fasilitasi pendidikan yang lebih mudah bagi setiap anak yang memang hak atas pendidkannya dijamin oleh Undang-undang. Di samping itu, untuk SMP sendiri merupakan paket dari pendidikan dasar dan wajib. Harus ada terobosan terus menerus yang mempermudah setiap anak usia sekolah di berbagai tempat sampai ke pelosok untuk bersekolah. Terobosan yang ada harus memberi kontribusi terhada menurunnya angka anak tidak sekolah di usia sekolah (meskipun ada banyak variabel lain sebagai faktor penyebab ini). 

Kembali ke si sulung, ia juga turut berkontestasi di jalur sistem baru ini. Kami orang tua terlalu yakin bahwa rumah kami sudah cukup dekat dengan sekolah pilihannya, sehingga memutuskan memilih jarak/zona. Saya sempat menyarankan agar, menggunakan prestasi saja, tetapi Mr. Daddy bilang,  "udah ah, kasi aja ke teman-temannya yang berprestasi juga namun di bawah dia, barangkali pilih sekolah yang sama dan jarak rumahnya lebih jauh. Jika masuk dalam 5 besar di sekolah seperti si sulung, khan punya kans yang sama." Begitulah disampaikannya meski tidak sama persis. Dan, semua dilewati sesuai dengan yang telah kami sepakati, juga atas persetujuan si sulung. Alhasil, di hari pertama mendaftar, si sulung sudah terlempar ke sekolah pilihan ke-2. Kami melihat, secara berurutan dari 1-35 (artinya sama dengan satu kelas) sudah didominasi oleh pemegang masuk dalam klasifikasi "inklusi" dan diikuti jarak yang lebih dekat daripada jarak rumah kami ke sekolah. Sudah bisa ditebak, masuk sekolah impian pupus. Tentu saja proses seleksi akan mengikut prosedur standa: tidak lolos pilihan pertama, otomatis "terlempar' ke pilihan kedua, dan seterusnya ketiga, jika ada 3 pilihan sekolah. Si sulung sudah patah arang, toh pilihan kedua dan ketiga juga sebetulnya hanya mengisi bagian opsi saja. Pilihan sebenarnya ya cuma satu, pilihan pertama dengan banyak pertimbangan dimana salah satunya ya jarak dari rumah. 

Mr. Daddy sempat menanyakan soal ke sekolah, apakah ada peluang untuk berubah ke jalur prestasi saja, untuk setidaknya menunjukan upaya "betapa kami mencoba memfasilitasi dengan baik minat si sulung (sejujurnya, dia juga berharap mendaftar melalui jalur prestasi awalnya, dan ini sempat membuat Mr. Daddy sangat merasa bersalah). Upaya ini tidak berhasil. Dan, Kepalal Sekolah sudah benar, karena memang aturannya seperti itu. Akhirnya, si sulung kami daftarkan di sekolah swasta terdekat rumah. Diapun perlahan mulai menerima kenyataan. Di tengah kami sedang mengurusi administrasi di sekolah swasta itu, ternyata ada penambahan waktu (gelombang) pendaftaran, dan kami diinformasikan bahwa kami bisa daftar lagi ke sistem dan merubah masuk dengan skeam zona menjadi skema prestasi. Namun, harus menghadap ke Dinas Pendidikan. Akan tetapi, kami berpikir, sudahlaahh...lupakan saja. Si sulungpun, tidak mau lagi "kembali" meski sebenarnya "masih ingin". Kayak judul film ya... 

Yang menarik dari proses ini adalah ketika selesai penerimaan, ada begitu banyak cerita (cerita lo ya, belum tentu fakta dan saya juga tidak sedang menduga-duga apalagi menganggap ini kebenaran) tentang upaya serupa yang dilakukan orang tua lain. Mulai dari upaya yang membuat nyesek seperti membuat surat keterangan tidak mampu untuk mengambil kuota skema "inklusi".  Ada juga yang ceritanya datang ke Dinas meminta perubahan untuk kasus yang seperti anak saya. Dan, ada juga cerita tentang yang sampai jauh-jauh hari sudah membuat "tumpangan alamat" di jarak yang lebih dekat dengan sekolah (kalo yang ini sih, saya tidak percaya sama sekali, karena artinya haru memalsukan KK donk...). 

Begitulah bagaimana sebuah sistem dalam pendidikan yang diciptakan sangat besar pengaruhnya bagi warga negara yang punya hak atas pendidikan itu. Namun, sekali lagi bahwa membangun sebuah sistem baru seperti ini setelah berpuluh-pulih tahun dengan 'cara lama', bermodal niat baik pemerintah saja tidak cukup. Proses sosialisasi harus betul-betul memastikan menjangkau sebanyak-banyaknya sasaran dan melibatkan banyak pihak agar tidak ada gagal paham dan salah kaprah. Orang tuapun harus mempersiapkan diri dan membiasakan diri cepat beradaptasi dengan perubahan seperti ini. Saya meyakini, memilih sekolah buat anak-anak bukan sekedar yang penting sekolah, tetapi harus menjadi bahasan serius antara orang tua-anak. Bukan menjadi maunya orang tua saja ataupun maunya anak saja. Untuk itu, saya menyimpulkan bahwa urusan mencari atau memilih sekolah bagi anak itu bukan urusan yang mudah😍. 

Semoga ini menjadi pelajaran ke depan buat kami orang tua.




Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...