Senin, 24 Juni 2019

Buah "Daun"

Buah D'aun (Foto: Lili D)
Jika anda ditanya tentang gambar di samping, mungkin lebih banyak menjawab tidak tahu. Kecuali jika anda pernah merasakan tinggal di rumah terapung dan tergolong  aktif serta intens beraktifitas di sungai. Aku mengenalinya sebagai Buah Daun. Ya, ini adalah buah berbentuk daun bahkan namanyapun dalam istilah lokal (bahasa ibuku) disebut demikian, Buah D'aun (dibaca dengan penekanan pada bunyi 'd' diawal kata). Pada gambar, Buah Daun sudah dilepas kulitnya. Kulitnyapun berwarna seperti daun, berwarna hijau disaat belum matang, dan berwarna coklat dikala sudah matang. Pada saat berwarna coklat inilah, Buah Daun yang pohonnya tumbuh di pesisir sungai ini biasanya gugur jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Biasanya, Buah Daun akan mengapung segerombolan dengan sampah dedaunan, buah-buahan yang tumbuh di pesisir sungai seperti putat dan ntangis serta ranting-ranting kayu.

Buah ini sering dimakan langsung dalam keadaan mentah. Bisa juga diolah dengan dimasak sebagai campuran rebusan ikan sungai.  Setelah matang, air sayur buah daun ini akan berwarna susu. Daging buah berasa sedikit gurih dengan kuah yang akan cenderung sedikit sepat (kelat) sebagai rasa khas dari buah ini.

Saat kecil, di kala air mulai pasang, aku dan kakakku sering berkayuh menyusuri sungai untuk mengumpulkan Buah D'aun. Tidak memerlukan waktu lama untuk membawa pulang cukup banyak buah, toh kami juga bisa menemukannya tersangkut di batang apung penyangga lanting (rumah terapung) tempat kami tinggal (1980-an). Nah, jika anda tahu apa nama latin atau bahasa Indonesia dari buah ini, jangan sungkan untuk  berbagi ya.

Selasa, 18 Juni 2019

Tetepok (Water Snow Flakes, Floating Heart)

Bunga Tetepok
Aku menduga ia teratai kecil, tetapi Si Tukang Kebun menegaskan bukan. "Ini hanya tanaman air liar yang tumbuh begitu saja di situ!." Karenanya, Si Tukang kebun mengambilkan dan memberikan cuma-cuma tanaman itu kepadaku. Aku tertarik dengan bunga kecilnya dan pasti indah jika ia mengapung di permukaan air kolam ikanku.

Dan terjadilah!. Ia berpindah tempat. Jika aku suka melihat daunnya yang serupa teratai dan bunga putih kecil itu, ikanku suka menggrogoti daunnya untuk dimakan. Oalaaah...dikira tumbuhan pakan!!. Banyak daun hijau itu tak berbentuk utuh menyerupai hati lagi karena gigitan ikan. Baiklah, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tak berarti di dunia ini. Tidak ada satupun yang tak terhubung satu dengan yang lainnya.


Karena semua makhluk terhubung satu sama lain, akupun menghubungkan diri dengan mesin pencari Dewa Google. Mencari tahu dengan "kata kunci" ciri-ciri fisik bunga ini kemudian melihat gambar yang sesuai. Belum selesai, aku mendapat notifikasi akun sosmedku terkait postku tentang bunga ini. Belum selesai aku menemukan yang kucari, aku mendapati komentar berisi informasi tentang bunga ini dari satu orang teman di sosmed ini. Aku mencoba memberi verifikasi bagi diriku sendiri (karena tidak boleh percaya pada satu sumber saja khan?!), melakukan konfirmasi balik dengan mesin pencari google, mengumpulkan beberapa informasi lain dan ternyata informasi dari kawan itu benar adanya.  

Bunga Tetepok (Nymphoides Indica). Ia sering juga disebut Water Snow Flakes atau juga disebut Floating Heart. Pada tahun 2011, pada perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN), bunga tetepok pernah dijadikan sebagai puspa Nasional. Ia bisa ditemukan di berbagai belahan dunia seperti Eropa, Amerika dan Asia (salah satunya Indonesia). 

Pertemuanku dengan bunga ini adalah suatu kebetulan di hari Jumat Berkat. Kami sedang merayakan kelulusan si sulung, G, dengan makan siang bareng di resto  yang belum pernah kami kunjungi tapi sering kulihat orang-orang narsis dengan bunga-bunga indah di halaman resto itu (karena gak diendorse, nama resto dan alamat detil tidak disebutkan). Tepatnya di Jalan Arteri Supadio, Kabupaten Kubu Raya. Aku juga berharap bisa membeli bibit bunga di sana. Hasil akhirnya, saya mendapat bibit gratis Tetepok ini (bisa gratis karena alasan di atas, "tidak untuk dijual, dianggap tanaman liar" oleh si tukang kebun), diberi gratis 10 biji bunga matahari (alasan gratis hampir sama, "belum ada bibit atau biji yang layak untuk dijual), membeli dua tangkai bunga sedap malam beserta bibitnya dengan total harga Rp. 30. 000;, diberi gratis satu biji dan satu tanaman Keji Beling (katanya tanaman obat). Lumayan greget dengan ketidaktahuan si tukang kebun sampai akhirnya aku tidak tahan untuk tidak memberi saran sebelum kami beranjak. Saranku adalah agar si tukang kebun harus berusaha mencari tahu nama setiap tanaman yang ia tanam dan rawat di halaman resto itu. Dan, agar tidak lupa, ia mestinya menempel tag nama tanaman sehingga dia tidak banyak menjawab "tidak tahu".

Apapun itu, hasil akhir semakin paripurna dengan agenda silaturahmi kerumah sahabat lama yang sudah belasan tahun tidak bertemu.  Kami mendapat suguhan menu lontong, roti cane dan gulai daging sapi dari isteri sahabat lamaku  itu. Kutunggu Jumat Berkat berikutnya... untuk kutulis

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...