Jumat, 18 Januari 2019

Dunia "Seakan-akan":Jargon Politik dan Hoax


Dua tahun lalu saya pernah menulis status di salah satu sosmed yang saya ikuti dengan cukup panjang. Isinya tentang bagaimana saya sudah jengah dengan kegaduhan politik yang cenderung gaduh negatif, black propaganda sampai kemudian yang sekarang ini mem-viralkan kata hoax dan membangunkan gerakan anti hoax dengan tebaran tagar berisi kata ini salah satunya #turnbackhoax. Tidak terasa juga sudah dua tahun ini saya tidak membuat status serupa itu.

Tahun ini sudah (2019) disebut sebagai tahun politik karena akan berlangsung Pemilu Legislatif dan Presiden. Narasi dan diksi yang dibangun tidak jauh berbeda dengan empat tahun lebih yang lalu. Wajah politik praktis Indonesia masih menyeramkan karena bumbu pedas dari setiap orang yang secara notabene merupakan pendukung dari masing-maing kubu masih sama saja, bertaburan hujat (bukannya kritik membangun), nyinyir dan hoax yan bahkan hasil produksi empat atau lilma tahun lalu dan seharusnya makanan sudah expired masih saja dikonsumsi bahkan disebarluaskan kembali, Angin media digital begitu mumpuni saat ini memberi ruang 'viralkan" informasi serupa itu, dan orang cukup bermodalkan jaringan, satu akun sosmed, tombol like dan share. Seburuk-buruknya punya HP murah dan bisa terima SMS pun bisa menjadi target. Menyberlah semua itu tidak pilih kalangan. Bahkan kalangan yang danggap terdidik sekalipun terseret menelan mentah-metah berita hoax hanya karena ingin membenarkan dukungannya terehadap pihak tertentu. 

Bagaimana penerimaan terhadap informasi seputar perpolitikan itu?. Tentu beragam, ada yang merespon dengan argumentasi analitik, ada yang bergaya nyinyir (karena tujuannya memang membuat sensi atau baperan kelompok yang dianggap berseberangan, harapnya dapat balesan sampai adu statement pedas, adu meme, adu kutipan). Di sosial media seperti Facebook misalnya, banyak yang (seakan-akan) melek politik tapi omongan masih seputar jargon. Apa yang disampaikan (seakan-akan) hasil pengamatan bahkan opini pribadi tetapi tak lebih dari mengulang saja pendapat orang lain sebelumnya. Lebih seperti pesan berantai. Ini biasanya terjadi pada beberapa orang yang berdiskusi dengan banyak orang, sedikit membaca. Kalaupun membanca, mungkin sumbernya "hoax" atau mungkin saja hanya membaca judul atau bagian kesimpulan.

Bentuk lainnya, terjadi pada orang yang banyak membaca buku tetapi tidak didiskusikan sehingga sangat text-book cara berpikirnya atau tidak kontekstual cenderung berkutat pada pemahamannya sendiri alias tidak open-minded. Konsep kebenaran mutlakpun terjadi pada apa yang ia pikir benar. Sesat pikir jadinya. Masih untung kalo yang dibaca adalah buku tentang teori, bisalah disebut sebagai orang yg teoritikal. Kalo yang dibaca media "hoax", gimana?.

Ini bukan ajakan untuk jangan lagi membaca dan berdiskusi lho ya. Intinya, kembali ke soal politik (terserah, mau politik apapun itu), analisa sederhana dinamika politik lokalnya dulu donk keluarin. Ini khususnya untuk orang yang notabene terididik dengan baik, para kaum cerdidk pandai itu. Jadi, orang seperti saya bisa belajar lebih banyak, bacaannyapun bukan hoax, bertindaknyapun gak ikut2an trend, berucappun tidak asal "nge-beo", tetapi lebih kritis dan cerdas.




Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...