Dua tahun lalu saya
pernah menulis status di salah satu sosmed yang saya ikuti dengan cukup
panjang. Isinya tentang bagaimana saya sudah jengah dengan kegaduhan politik
yang cenderung gaduh negatif, black propaganda sampai kemudian yang sekarang
ini mem-viralkan kata hoax dan membangunkan gerakan anti hoax dengan tebaran
tagar berisi kata ini salah satunya #turnbackhoax. Tidak terasa juga sudah dua
tahun ini saya tidak membuat status serupa itu.
Tahun ini sudah
(2019) disebut sebagai tahun politik karena akan berlangsung Pemilu Legislatif
dan Presiden. Narasi dan diksi yang dibangun tidak jauh berbeda dengan empat
tahun lebih yang lalu. Wajah politik praktis Indonesia masih menyeramkan karena
bumbu pedas dari setiap orang yang secara notabene merupakan pendukung dari
masing-maing kubu masih sama saja, bertaburan hujat (bukannya kritik
membangun), nyinyir dan hoax yan bahkan hasil produksi empat atau lilma tahun
lalu dan seharusnya makanan sudah expired masih saja dikonsumsi bahkan
disebarluaskan kembali, Angin media digital begitu mumpuni saat ini memberi
ruang 'viralkan" informasi serupa itu, dan orang cukup bermodalkan
jaringan, satu akun sosmed, tombol like dan share. Seburuk-buruknya punya HP murah
dan bisa terima SMS pun bisa menjadi target. Menyberlah semua itu tidak pilih
kalangan. Bahkan kalangan yang danggap terdidik sekalipun terseret menelan
mentah-metah berita hoax hanya karena ingin membenarkan dukungannya terehadap
pihak tertentu.
Bagaimana penerimaan
terhadap informasi seputar perpolitikan itu?. Tentu beragam, ada yang merespon
dengan argumentasi analitik, ada yang bergaya nyinyir (karena tujuannya memang
membuat sensi atau baperan kelompok yang dianggap berseberangan, harapnya dapat
balesan sampai adu statement pedas, adu meme, adu kutipan). Di sosial media
seperti Facebook misalnya, banyak yang (seakan-akan) melek politik tapi omongan
masih seputar jargon. Apa yang disampaikan (seakan-akan) hasil pengamatan
bahkan opini pribadi tetapi tak lebih dari mengulang saja pendapat orang lain
sebelumnya. Lebih seperti pesan berantai. Ini biasanya terjadi pada beberapa
orang yang berdiskusi dengan banyak orang, sedikit membaca. Kalaupun membanca,
mungkin sumbernya "hoax" atau mungkin saja hanya membaca judul atau
bagian kesimpulan.
Bentuk lainnya,
terjadi pada orang yang banyak membaca buku tetapi tidak didiskusikan sehingga
sangat text-book cara berpikirnya atau tidak kontekstual cenderung berkutat
pada pemahamannya sendiri alias tidak open-minded. Konsep kebenaran mutlakpun
terjadi pada apa yang ia pikir benar. Sesat pikir jadinya. Masih untung kalo
yang dibaca adalah buku tentang teori, bisalah disebut sebagai orang yg
teoritikal. Kalo yang dibaca media "hoax", gimana?.
Ini bukan ajakan untuk jangan lagi membaca dan berdiskusi lho ya. Intinya, kembali ke soal politik (terserah, mau politik apapun itu), analisa sederhana dinamika politik lokalnya dulu donk keluarin. Ini khususnya untuk orang yang notabene terididik dengan baik, para kaum cerdidk pandai itu. Jadi, orang seperti saya bisa belajar lebih banyak, bacaannyapun bukan hoax, bertindaknyapun gak ikut2an trend, berucappun tidak asal "nge-beo", tetapi lebih kritis dan cerdas.