Pohon Sirsak “Survivor
Suatu hari, di tahun 2008, aku harus mengambil
keputusan yang sulit yakni untuk mengakhiri saja kehidupan sebatang pohon
sirsak di samping rumahku untuk membuat lebih luas kawasan dapur dan area
parkir, atau membiarkannya hidup saja. Pilihan membiarkannya hidup pun
sebetulnya pilihan yang rumit. Ia tumbuh terlindungi dari sinar matahari dari
timur yang ia butuhkan untuk menjadi pohon yang sehat dan produktif. Akupun
tidak diuntungkan dengan kondisi ini.
Pada akhirnya, aku berpikir untuk tidak menjadikan
ini sebagai pilihan yang rumit, yang harus dianalisis terlalu panjang-lebar
meski sempat membingungkan. Aku memutuskan bertindak lebih bijak terhadap pohon
sirsak yang sudah terlanjur tumbuh. Meskipun ia hanya pohon, tapi tidak ada
salahnya aku mekesampingkan egoku memiliki ruang parkir yang luas untuk hanya
satu motor dan beberapa sepeda. Ia terlanjur tumbuh meskipun tidak begitu
sehat. Akan tetapi, satu pohon sirsak yang tidak sehat ini telah mengajariku
filosofi bertahan hidup. Sudah lima tahun (2003-2008) ia menjadi bagian dari
rumahku. Lebih dari itu, ia yang menurut ukuranku tidak produktif karena tidak
pernah menghasilkan buah yang ranum dari bunga yang bermekaran tak kenal musim,
berakhir dengan berserakan di tanah, justeru begitu berjasa bukan dari buahnya
tetapi dari daunnya. Beberapa kali, helai demi helai daun sirsak itu berhasil
membebaskan rasa sakit suamiku dari asam urat yang berlebih kadarnya.
Semakin banyak pula kehidupan telah diberi oleh
dedauann yang tidak terlalu rindang itu terhadap kupu-kupu untuk
bertransformasi dari ulat-kepompong dan berakhir pada berbagai ragam corak dan
ukuran kupu-kupu. Aku sudah menurunkan ekspektasi untuk bisa menikmati buah
ranum pohon sirsak itu, tetapi menikmati saja setiap satu siklus kehidupan
setiap kupu-kupu yang menjadikannya tempat bertransformasi . Aku juga menikmati
ketika kal-kala harus memetik lembar daunnya sebagai ramuan herbal penurun
kadar asam urat suamiku. Terkadang, aku juga meminumnya, toh katanya bagus juga
untuk kesehatan. Tak jarang, tetanggapun meminta daun sirsak itu untuk menjadi
bahan tambahan sebagai pelembut atau pengempuk daging.
Beberapa tahun kemudian (aku lupa persis tahun
berapa, kalau tidak salah 2015), sirsak itu pada akhirnya memberikan juga
kepadaku buahnya yang ranum. Aku bahkan bisa membagi buahnya dengan tetangga.
Mungkin saja karena ia sudah mulai meninggi melampui tembok rumah dan
bisa merasakan hangat sinar matahari pagi, membuatnya lebih produktif. Namun,
akupun tidak berharap lagi akan buah yang banyak. Setiap saat ia meninggi, aku
terpaksa meminta adikku memotong pohonnya. Aku juga harus memikirkan kenyamanan
tetangga sebelah rumah yang terlindungi jika ia kubiarkan rindang. Kadang aku
berpikir, kasihan sekali pohon sirsakku harus “dibonsai”?!. Jangan-jangan,
seandainya aku bisa mendengar dan memahaminya, mungkin ia sudah berteriak
menolak perlakuan seperti itu. Bukankah ia juga makhluk hidup?!. Nyatanya,
kusaksikan pohon sirsakku masih saja sama rindangnya dipenuhi dedauanan
hijau yang semakin lebar dari sebelumnya. Semakin banyak ulat hijau bercokol di
dedaunan itu yang berakhir dengan kepompong coklat bergelantungan. Bunganyapun
tetap bermekaran, namun kebanyakan berakhir dengan serakan kelopaknya di tanah.
Begitulah dilema berakhir pada keputusan
menghormati proses “bertahan hidup” pohon sirsakku. Pohon sirsak “survivor”
yang tidak sengaja mengajariku tentang bagaimana menyikapi kehidupan yang
prosesnya tak selalu sesuai dengan yang kita ingini. Tetapi, selalu ada cara
untuk bertahan hanya dengan mensyukuri saja proses yang sudah dilalui dan tetap
memlihara semangat untuk berharap segala sesuatu akan baik dan membaik pada
akhirnya. Akupuh mulai menikmati rutinitas, memotong dahan-dahan yang sudah
mulai banyak dan memerintahkan adikku memotong pohonnya ketika sudah terlalu
tinggi dan mulai terlihat mengganggu tetangga. Tahun ini (2017), akupun mulai
menambahkan beberapa pot bunga dari jenis yang tidak terlalu membutuhkan banyak
sinar matahari untuk menjadi teman si pohon sirsak “survivor” itu. Tidak
terasa, sirsak itu sudah menjadi pohon yang menua (gak ngitung umur
sesungguhnya, tapi perkiraanku ia sudah berumur sekitar 15 tahun terhitung
sejak aku mulai pindah ke rumahku dari rumah kontrakanku di tahun 2004, toh
sebetulnya ia juga bawaan dari halaman rumah kontrakanku).
Pohon Sirsakku Punya Saudara
Pohon sirsakkku itu sebetulnya memiliki saudara.
Namun, saudaranya itu tak terelakan untuk dipindahtangankan karena tumbuh
persis di tempat hendak dibangun tembok pagar rumah. Perindahan tangan itupun
tujuannya untuk menyelamatkannya karena ia lebih produktif, sudah berkali-kali
berbuah dan berakhir di mesin blender menjadi minuman segara dalam bentuk jus
sirsak yang sehat. Ia diadopsi oleh adikku dan berpindah menjadi penghuni
halaman adikku. Dengan demikian, iapun semakin mendapat tempat yang memadai
untuk tumbuh subur karena halaman yang luas. Namun, tahun ini (2017) adikku
memutuskan membangun kembali rumahnya. Saudara sirsakku inipun harus
“dimatikan”. Sepertinya, tidak ada pilihan lain yang dimiliki adikku untuk
mempertahankannya. Iapun sudah sangat rindang dan besar untuk berpindah tempat,
tidak seperti ketika ia dipindahkan dari halamanku dengan postur yang masih
memungkinkan berpindah meski sudah berbuah. Kalaupun dipindahkan, mungkin ia akan
mati juga. Dan kemana memindahkan pohon sirsak sebesar itu (sayang sekali, aku
tidak punya foto terakhirnya).
Ya, begitulah nasib saudara si sirsak yang awalnya
harus dilakukan misi penyelamatan, diadopsi oleh adikku. Pada akhirnya, harus
ditebang karena tidak ada pilihan lain dari si tukang pekerja rumah. Begitu
pula setiap kehidupan, terkadang memang sesuatu harus berakhir tidak
sesuai dengan harapan. Orang sering menyebutnya kegagalan. Kalaupun suatu
produk kegagalan dibiarkan, ia akan memunculkan sesuatu yang dianggap keanehan.
Berandai-andai, saudara pohon pohon sirsakku ini adalah manusia, mungkin
ia seperti manusia yang kita kenal sehat dan bahagia hidupnya, tiba-tiba harus
“dimatikan” karena tidak ada pilihan lain, dan itulah pilihannya (jadi ingat
pada eksekusi mati napi narkoba, meski kejauhan nih analoginya). Setiap satu
siklus kehidupan akan hilang, dan meninggalkan siklus kehidupan (baru) yang
lain. Semoga saja, masih ada sedikit ruang di halaman rumah adikku untuk
menyokong siklus kehidupan lain dari pohon sirsak yang lain pula.
Tentang Sirsak, the “Survivor” ini, aku pernah
mengabadikannya di laman FBku pada tahun 2014. Namun, tidak ada cerita tentang
ia yang pada akhirnya berbuah sampai ranum juga seperti yang kutulis di atas
karena momen langka ini terjadi setahun kemudian (2015). Beginilah narasiku
sebagai caption foto Pohon Sirsakku di atas. Ini tentangnya saat itu yang
kurang lebih sama dengan yang kutulis saat ini:
Sirsak “surivor”, tumbuh dg sedikit sinar
matahari karena tumbuh dibalik tembok samping rumahku. Tetapi ia selalu
bertahan di segala musim. Bahkan di musim berbuah ia memaksakan diri mengikuti
proses alami tersebut namun di banyak masa ia hanya terhenti pada proses
mekarnya bunga. Pernah sekali berbuah sampai tiga dengan fisik yg kerdil, tetap
saja tak sampai ranum lalu terjatuh ke halaman yang tertutup cor semen padat.
Jadinya, tak pernah sekalipun merasakan jus sirsak segar dari pohon satu ini.
Padahal, sodara sebantarannya juga sangat produktif berbuah tak kenal musim. Ia
beruntung tumbuh disisi lain rumahku yg terpapar sinar matahari lebih. Namun
sekitar empat tahun lalu, ketika ia sudah beberapa kali kupanen, wilayah
tumbuhnya tergusur sketsa rumah yg sudah berbentuk kini. Iapun harus dicabut
diusia produktif, dan kami mengambil kebijakan untuk memindahkannya ke halaman
rumah adikkuJohanna Sumiati yg masih sangat luas.
Alhasil, ia semakin produktif dan rimbun daunnya. Sesekali dapat bagi hasil
buahnya, sempat beberapa kali berakhir di gelas jus, bahkan buahnyapun sempat
dibagi ke rekan kerja adikku. Sungguh kontras dg kondisi sodaranya yg di
rumahku yg kadang juga harus mencium bau detergen dan pewangi pakaian tetangga
yang terlebih dahulu membangun tembok bersisian dgn tumbuhnya sirsakku.
Beberapa kali kami harus nemotong pohonnya yg terlalu tinggi dan merambah ke
rumah tetangga. Namun sirsak "survivor" ini sungguh dahsyat, berkali2
ia membantu menurunkan kadar asam urat suamiku. Berkali2 pula tetangga minta memetik
daunnya u/ beberapa macam penyakit atsu sekedar melembutkan daging saat
dimasak. Aku jg beberapa kali merebus dan meminum daunnya u/ kesehatan. Banyak
jasanya!