Kamis, 06 Juli 2017

Bertahan Hidup: Kisah Si Pohon Sirsak dan Saudaranya

Pohon Sirsak “Survivor
Suatu hari, di tahun 2008, aku harus mengambil keputusan yang sulit yakni untuk mengakhiri saja kehidupan sebatang pohon sirsak di samping rumahku untuk membuat lebih luas kawasan dapur dan area parkir, atau membiarkannya hidup saja. Pilihan membiarkannya hidup pun sebetulnya pilihan yang rumit. Ia tumbuh terlindungi dari sinar matahari dari timur yang ia butuhkan untuk menjadi pohon yang sehat dan produktif. Akupun tidak diuntungkan dengan kondisi ini.

Pada akhirnya, aku berpikir untuk tidak menjadikan ini sebagai pilihan yang rumit, yang harus dianalisis terlalu panjang-lebar meski sempat membingungkan. Aku memutuskan bertindak lebih bijak terhadap pohon sirsak yang sudah terlanjur tumbuh. Meskipun ia hanya pohon, tapi tidak ada salahnya aku mekesampingkan egoku memiliki ruang parkir yang luas untuk hanya satu motor dan beberapa sepeda. Ia terlanjur tumbuh meskipun tidak begitu sehat. Akan tetapi, satu pohon sirsak yang tidak sehat ini telah mengajariku filosofi bertahan hidup. Sudah lima tahun (2003-2008) ia menjadi bagian dari rumahku. Lebih dari itu, ia yang menurut ukuranku tidak produktif karena tidak pernah menghasilkan buah yang ranum dari bunga yang bermekaran tak kenal musim, berakhir dengan berserakan di tanah, justeru begitu berjasa bukan dari buahnya tetapi dari daunnya. Beberapa kali, helai demi helai daun sirsak itu berhasil membebaskan rasa sakit suamiku dari asam urat yang berlebih kadarnya.

Semakin banyak pula kehidupan telah diberi oleh dedauann yang tidak terlalu rindang itu terhadap kupu-kupu untuk bertransformasi dari ulat-kepompong dan berakhir pada berbagai ragam corak dan ukuran kupu-kupu. Aku sudah menurunkan ekspektasi untuk bisa menikmati buah ranum pohon sirsak itu, tetapi menikmati saja setiap satu siklus kehidupan setiap kupu-kupu yang menjadikannya tempat bertransformasi . Aku juga menikmati ketika kal-kala harus memetik lembar daunnya sebagai ramuan herbal penurun kadar asam urat suamiku. Terkadang, aku juga meminumnya, toh katanya bagus juga untuk kesehatan. Tak jarang, tetanggapun meminta daun sirsak itu untuk menjadi bahan tambahan sebagai pelembut atau pengempuk daging.

Beberapa tahun kemudian (aku lupa persis tahun berapa, kalau tidak salah 2015), sirsak itu pada akhirnya memberikan juga kepadaku buahnya yang ranum. Aku bahkan bisa membagi buahnya dengan tetangga. Mungkin saja karena ia sudah mulai meninggi melampui  tembok rumah dan bisa merasakan hangat sinar matahari pagi, membuatnya lebih produktif. Namun, akupun tidak berharap lagi akan buah yang banyak. Setiap saat ia meninggi, aku terpaksa meminta adikku memotong pohonnya. Aku juga harus memikirkan kenyamanan tetangga sebelah rumah yang terlindungi jika ia kubiarkan rindang. Kadang aku berpikir, kasihan sekali pohon sirsakku harus “dibonsai”?!. Jangan-jangan, seandainya aku bisa mendengar dan memahaminya, mungkin ia sudah berteriak menolak perlakuan seperti itu. Bukankah ia juga makhluk hidup?!. Nyatanya, kusaksikan pohon sirsakku masih saja sama rindangnya dipenuhi  dedauanan hijau yang semakin lebar dari sebelumnya. Semakin banyak ulat hijau bercokol di dedaunan itu yang berakhir dengan kepompong coklat bergelantungan. Bunganyapun tetap bermekaran, namun kebanyakan berakhir dengan serakan kelopaknya di tanah.

Begitulah dilema berakhir pada keputusan menghormati proses “bertahan hidup” pohon sirsakku. Pohon sirsak “survivor” yang tidak sengaja mengajariku tentang  bagaimana menyikapi kehidupan yang prosesnya tak selalu sesuai dengan yang kita ingini. Tetapi, selalu ada cara untuk bertahan hanya dengan mensyukuri saja proses yang sudah dilalui dan tetap memlihara semangat untuk berharap segala sesuatu akan baik dan membaik pada akhirnya. Akupuh mulai menikmati rutinitas, memotong dahan-dahan yang sudah mulai banyak dan memerintahkan adikku memotong pohonnya ketika sudah terlalu tinggi dan mulai terlihat mengganggu tetangga. Tahun ini (2017), akupun mulai menambahkan beberapa pot bunga dari jenis yang tidak terlalu membutuhkan banyak sinar matahari untuk menjadi teman si pohon sirsak “survivor” itu. Tidak terasa, sirsak itu sudah menjadi pohon yang menua (gak ngitung umur sesungguhnya, tapi perkiraanku ia sudah berumur sekitar 15 tahun terhitung sejak aku mulai pindah ke rumahku dari rumah kontrakanku di tahun 2004, toh sebetulnya ia juga bawaan dari halaman rumah kontrakanku).

Pohon Sirsakku Punya Saudara

Pohon sirsakkku itu sebetulnya memiliki saudara. Namun, saudaranya itu tak terelakan untuk dipindahtangankan karena tumbuh persis di tempat hendak dibangun tembok pagar rumah.  Perindahan tangan itupun tujuannya untuk menyelamatkannya karena ia lebih produktif, sudah berkali-kali berbuah dan berakhir di mesin blender menjadi minuman segara dalam bentuk jus sirsak yang sehat. Ia diadopsi oleh adikku dan berpindah menjadi penghuni halaman adikku. Dengan demikian, iapun semakin mendapat tempat yang memadai untuk tumbuh subur karena halaman yang luas. Namun, tahun ini (2017) adikku memutuskan membangun kembali rumahnya. Saudara sirsakku inipun harus “dimatikan”. Sepertinya, tidak ada pilihan lain yang dimiliki adikku untuk mempertahankannya. Iapun sudah sangat rindang dan besar untuk berpindah tempat, tidak seperti ketika ia dipindahkan dari halamanku dengan postur yang masih memungkinkan berpindah meski sudah berbuah. Kalaupun dipindahkan, mungkin ia akan mati juga. Dan kemana memindahkan pohon sirsak sebesar itu (sayang sekali, aku tidak punya foto terakhirnya).

Ya, begitulah nasib saudara si sirsak yang awalnya harus dilakukan misi penyelamatan, diadopsi oleh adikku. Pada akhirnya, harus ditebang karena tidak ada pilihan lain dari si tukang pekerja rumah. Begitu pula  setiap kehidupan, terkadang memang sesuatu harus berakhir tidak sesuai dengan harapan. Orang sering menyebutnya kegagalan. Kalaupun suatu produk kegagalan dibiarkan, ia akan memunculkan sesuatu yang dianggap keanehan. Berandai-andai, saudara pohon pohon sirsakku ini  adalah manusia, mungkin ia seperti manusia yang kita kenal sehat dan bahagia hidupnya, tiba-tiba harus “dimatikan” karena tidak ada pilihan lain, dan itulah pilihannya (jadi ingat pada eksekusi mati napi narkoba, meski kejauhan nih analoginya). Setiap satu siklus kehidupan akan hilang, dan meninggalkan siklus kehidupan (baru) yang lain. Semoga saja, masih ada sedikit ruang di halaman rumah adikku untuk menyokong siklus kehidupan lain dari pohon sirsak yang lain pula.

Tentang Sirsak, the “Survivor” ini, aku pernah mengabadikannya di laman FBku pada tahun 2014. Namun, tidak ada cerita tentang ia yang pada akhirnya berbuah sampai ranum juga seperti yang kutulis di atas karena momen langka ini terjadi setahun kemudian (2015). Beginilah narasiku sebagai caption foto Pohon Sirsakku di atas. Ini tentangnya saat itu yang kurang lebih sama dengan yang kutulis saat ini: 

Sirsak “surivor”,  tumbuh dg sedikit sinar matahari karena tumbuh dibalik tembok samping rumahku. Tetapi ia selalu bertahan di segala musim. Bahkan di musim berbuah ia memaksakan diri mengikuti proses alami tersebut namun di banyak masa ia hanya terhenti pada proses mekarnya bunga. Pernah sekali berbuah sampai tiga dengan fisik yg kerdil, tetap saja tak sampai ranum lalu terjatuh ke halaman yang tertutup cor semen padat. Jadinya, tak pernah sekalipun merasakan jus sirsak segar dari pohon satu ini. Padahal, sodara sebantarannya juga sangat produktif berbuah tak kenal musim. Ia beruntung tumbuh disisi lain rumahku yg terpapar sinar matahari lebih. Namun sekitar empat tahun lalu, ketika ia sudah beberapa kali kupanen, wilayah tumbuhnya tergusur sketsa rumah yg sudah berbentuk kini. Iapun harus dicabut diusia produktif, dan kami mengambil kebijakan untuk memindahkannya ke halaman rumah adikkuJohanna Sumiati yg masih sangat luas. Alhasil, ia semakin produktif dan rimbun daunnya. Sesekali dapat bagi hasil buahnya, sempat beberapa kali berakhir di gelas jus, bahkan buahnyapun sempat dibagi ke rekan kerja adikku. Sungguh kontras dg kondisi sodaranya yg di rumahku yg kadang juga harus mencium bau detergen dan pewangi pakaian tetangga yang terlebih dahulu membangun tembok bersisian dgn tumbuhnya sirsakku. Beberapa kali kami harus nemotong pohonnya yg terlalu tinggi dan merambah ke rumah tetangga. Namun sirsak "survivor" ini sungguh dahsyat, berkali2 ia membantu menurunkan kadar asam urat suamiku. Berkali2 pula tetangga minta memetik daunnya u/ beberapa macam penyakit atsu sekedar melembutkan daging saat dimasak. Aku jg beberapa kali merebus dan meminum daunnya u/ kesehatan. Banyak jasanya!

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...