Minggu, 08 Januari 2017

Tentang Pulang dan Rumah

Aku mulai begitu memaknai kata pulang ketika pertama kali aku pulang dari kantor ke rumah, meskipun hanya rumah kontrakan. Itu tahun 2001. Sebelumnya, kata pulang lebih kepada kata perintah dari ayah-ibuku ketika kami , anak-anak mereka masih kecil dan asyik bermain di kebun dan hutan sekitar rumah sampai lupa istirahat dan tidur siang (waktu itu yang aku ingat hanya kami berempat atau berlima bersaudara). Di masa itu kata pulang bisa berarti berhenti bermain, mulai membantu bekerja. Bisa juga berarti berhenti bermain, tapi tidur sianglah. Yang paling berat ketika kata pulang pada masa mulai masuk Sekolah Dasar, khususnya pulang kampung, dimana itu artinya hanya sekali dalam setahun pada saat libur panjang di bulan Juni dengan durasi hanya seminggu. Itu juga artinya tujuh hari atau seminggu dalam setahun bisa berjumpa denga Ibuku, dan biasanya selalu dibarengi dengan perkenalan dengan adik baru (lha iya ... aku masuk SD umur 6 tahun. Ibuku melahirkan setiap tahun. Setiap setahun pertambahan usiaku sama dengan bertambah satu adik kandung). Perjumpaan dengan Bapak juga tidak begitu sering tetapi jauh lebih sering dari perjumpaan dengan Ibuku, setidaknya dua atau tiga minggu sekali sampai sebulan sekali ketika ia turun menjual karet dan belanja. Itupun paling lama hanya semalam dan lebih banyaknya pulang hari (datang pagi, pulang sore atau datang sore, pulang pagi-pagi sekali esok harinya setelah sarapan pagi).

Mengapa kata "pulang" selalu menjadi sesuatu yang mengganjal?. Sesungguhnya, aku tidak pernah benar-benar pulang, tetapi terus berjalan, berjalan dan berjalan sampai pada suatu ketika aku begitu haru mengucapkan kata itu. Bagaimana tidak, ketika masuk SD, pulang dari sekolah artinya aku pulang ke rumah nenek-kakekku, bukan ke rumah bapak-ibuku yang jaraknya satu sampai dua jam perjalanan kaki menyusuri hutan yang masih lebat kala itu. Apakah itu pulang?. Ketika SMP sampai SMA, pulang dari sekolah artinya aku pulang ke rumah om-tanteku tempat aku menumpang selama masa pendidikan menengahku. Yang artinya aku harus siap melakukan banyak pekerjaan (karena menumpang di rumah orang meskipun masih keluarga, artinya harus siap mambantu melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh tiga orang sepupuku waktu itu). Apakah nyaman menyebut kata pulang?. Usai melewati enam tahun pendidikan menengah, akupun tidak pernah bisa memaknai kata pulang. Aku memasuki perguruan tinggi dengan kembali menumpang pada rumah saudara tanteku yang begitu baik selama satu setengah semester atau satu tahun setengah, kemudian tinggal sendirian menunggui rumah omku di Pontianak yang aku tidak jelas berapa lama, kemudian berlanjut tinggal bersama dengan kakakku setelah ia menikah di Jeruju dan kembali lagi tinggal di rumah om, bersama dengan mereka dan nenek serta satu orang adikku yang mereka bawa dari Sintang dengan status menumpang kuliah (setelah mereka pindah dari Sintang ke Pontianak). Ini tidak berlangsung lama, karna aku memutuskan kuliah sambil bekerja di sebuah organisasi non-pemerintah. Aku memutuskan mengontrak rumah di dekat kantorku dan jadilah aku menjalani hidup sebagai seorang aktivis sebuah gerakan sosial paling populer kala itu di Kalimantan Barat sekaligus menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa semester akhir yang begitu panjang dan lama. Aku tidak bercerita tentang masa-masa kuiliah tapi kembali ke makna pulang. Bahwa, ketika mengontrak rumah dengan jerih payahku sendirilah, aku begitu memaknai kata pulang. Ketika aku menyelesaikan pekerjaan di kantor atau pulang dari lapangan, aku benar-benar pulang ke "rumah" (kontrakan). Ketika aku pergi ke kampus untuk mengurusi skripsi atau bertemu dosen pembimbing, aku dengan senang hati berteriak kepada kawan-kawanku, "aku pulang dulu, ya!". "Mainlah ke rumahku!."

Ya, aku benar-benar menikmati kata pulang, meskipun aku juga banyak menghabiskan waktu di kantor. Tinggal sendirian di rumah kontrakan membuatku juga tidak terlalu nyaman sehingga suatu hari aku memutuskan mengajak serta adikku. Tetap saja aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, lebih banyaknya tidur di kantor. Tapi, bukan berarti aku tidak lagi memaknai kata pulang itu. Aku masih senang mengatakannya ketika aku ingin pulang ke rumah kontrakan. Persoalannya, aku mulai tidak bisa memisahkan konsep pulang ke rumah, pulang ke kantor karena rumah kadang menjadi seperti kantor bagiku dan sebaliknya kantor kadang seperti rumah bagiku dimana aku bisa makan kapan dan dimanapun aku mau, menyeduh berapa gelaspun kopi yang kumau. Toh, di rumah ada adikku yang menempatinya.

Pulang begitu lekat dengan rumah (tinggal). Apapun itu, tergantung bagaimana memaknainya. Aku semestinya sudah sangat terbiasa memaknai kata pulang tanpa melihat status sebuah rumah tinggal atau tempat tinggal. Kemampuan mencari kenyamanan dan kepuasaan sendirilah sebetulnya yang menentukan apa makna yang diberikan. Dulu, pulang berarti aku bisa berkumpul dengan adik-adikku (yang pada prosesnya, aku tidak hanya tinggal berdua saja tapi berempat dengan tiga orang adikku), bisa berkumpul dengan teman-temanku. Dimana, tidak begitu penting biarpun di rumah kontrakanku dan terkadang titik kumpul justeru di rumah temanku. Saat ini, pulang bearti,berkumpul dengan keluargaku; para kurcaciku dan si Bapak. Bedanya, bukan lagi rumah kontrakan tapi rumah sendiri yang dibangun dengan jerih payah dan kecintaan untuk bisa membesarkan anak-anak dengan tidak harus berpindah-pindah mencari rumah kontrakan ketika habis masanya dan harus selalu siap menghadapi kenaikan uang sewa setiap tahunnya.

Seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi sibuk memaknai kata pulang dan prosesnya tetapi lebih melihat esensi dari rumah. Rumahpun bukan sekadar bangunan fisik tempat tinggal tetapi pusat komunikasi, pendidikan, mencurahkan perhatian dan kasih sayang serta menemukan dan melakukan hal-hal baru bersama sebagai bentuk mewadahi kreatifitas setiap orang di dalam rumah. Akupun mulai menanamkan sedini mungkin konsep pulang dan rumah kepada anak-anak agar mereka tidak gamang seperti aku dulu ketika mencari makna kata pulang dan menemukan konsep rumah sampai aku merasa bahwa aku tak ubahnya seperti pengembara yang tidak tahu dimana perhentian akhir. Aku ingin anak-anakku merasa aman-nyaman dan bahagia di dalam rumah sehingga dimanapun dan kemanapun mereka kelak mereka tahu jalan pulang. Pulang yang sesungguhnya adalah ketika kita dinyatakan “selesai” dalam pengembaraan di dunia ini. Benar, hidup ini adalah pengembaraan. Rumah sejati ternyata bukanlah di dunia ini. Karenanya, sebagus apapun dan berapapun rumah di setiap jengkal tanah di dunia ini, tidaklah abadi. Kapanpun kita bisa kehilangannya. Aku memahami bahwa apa yang kusebut sebagai kenyamanan dan kebahagiaan sendiri itu lekang oleh waktu karena sifat manusiawi manusia. Semakin dalam aku memaknai kata pulang dan rumah bukan sekedar tubuh dan jiwa di suatu tempat dimuka bumi ini, adalah ketika satu persatu anggota keluarga, sahabat dan orang-orang yang kukenal berpulang. Mereka benar-benar pulang. Dan, akupun akan benar-benar pulang. Apa yang harus aku analisis lagi tentang proses ynag  kujalani selama ini. Kesimpulan, aku masih mengembara, menelusuri jalan pulang yang aku tidak tahu dimana perhentian terakhir. Mari menyiapkan jalan pulang yang indah dengan bahagia. 


Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...