Minggu, 25 Januari 2015

Kematian Yang Ditentukan



Akhir-akhir ini aku kembali pada situasi dimana sulit mengendalikan dominasi rasa untuk sejajar dengan logika. Rasa sedih, kecewa, kasihan yang semuanya terfokus pada detik-detik yang dalam hitungan mundur dibayangi wajah-wajah enam orang terpidana mati kasus narkoba yang menunggu eksekusi pada hari Minggu, 18 Januari 2015. Membayangkan wajah-wajah keluarga mereka yang terpaksa harus menerima kenyataan atas waktu dan cara kematian yang sudah ditentukan oleh kejaksaan. Masih rasa yang sama ketika eksekusi mati Tibo Cs pada delapan tahun lalu (22 September 2006) untuk kasus kerusuhan Poso. Rasa yang pada tataran kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia sesungguhnya bisa dijelaskan sejalan dengan logika, bahkan logika sederhana sekalipun, misalnya mati tidak seharusnya menjadi bentuk hukuman atas kejahatan apapun, apalagi dengan dalih efek jera. Toh, semua manusia akan mati. Ini bisa jadi sangat subyektif, tetapi rasa dan logika ini mempertanyakan beberapa hal diantaranya, apakah ada jaminan bahwa proses-proses hukum terhadap para napi ini berjalan dengan adil, tidak diskriminatif dan bebas dari kepentingan yang lebih besar?. 

Sumber: http://www.cdn.klimg.com
Banyak sekali orang pintar di negaraku terutama para penegak hukum yang kuyakin mampu mencari alternatif-alternatif hukuman berat lain selain hukuman mati. Tetapi, ini masih seperti harapan yang mengawang jauh dibalik  awan-awan. Entah siapa yang mampu menjelaskan kenapa, akupun tidak, selain ungkapan kekecewaanku bahwa ini bentuk kemalasan berpikir yang luar biasa. Otak untuk menganalisa kalah tajam dan menakutkan dari pelor panas senjata. 

Detik-detik menjelang eksekusi menyesakan dadaku, serasa seakan diriku yang akan menghadapinya. Membayang mereka tak sanggup lagi berbuat apa-apa tetapi pasrah, bergulat dengan bayang-bayang kematian yang disahkan secara hukum manusia melalui keputusan kejaksaan dan popor senjata penembak jitu Polisi Brimob. Entah apa yang mereka rasa ketika waktu dan tempat kematian telah ditentukan dan dipersiapkan diwarnai hingar bingar, hiruk pikuk setuju-tidak setuju, pantas-tidak pantas, iba-hujatan dan paling pasti ekspos media. Ini pula yang membuat hatiku semakin resah, membaca dan mendengar pernyataan orang-orang yang setuju dengan penghukuman demikian, percaya bahwa itu tindakan  menyelamatkan generasi bangsa. 

Aku memahami sikap dan pikiran orang-orang yang setuju dengan menempatkan rasa dan logika seperti yang kualami saat ini, hanya saja mungkin dalam pijakan yang berbeda. Aku cenderung berpikir bahwa selalu ada cara lain dan mesti ada kesempatan kedua bagi orang-orang jahat sekalipun dengan alas belas kasihan dan hak asasi manusia. Dan mereka, kecenderungannya berpikir praktis dan percaya bahwa hanya kematian yang bisa menghentikan ‘jahatnya’ seseorang agar ia tidak menyebarkan virus jahatnya kepada yang lain atau melakukannya kembali dengan kesempatan yang ada. Ya, kedua sikap dan pikiran inipun bisa diklaim sebagai yang paling benar. Mungkin saat ini, aku harus banyak melihat dengan mata hati bukan mata-kepala saja, bahwa negaraku tidak sedang ketakutan dan panik tetapi betul-betul sedang peduli akan keselamatan bangsa dari kejahatan luar biasa narkoba dan terorisme dalam bingkai penegakan hukum.

Kembang Kopi dan Kumbang

Kembang Kopi Halaman Rumah Ibuku

Ini adalah tulisan pertamaku di tahun 2015. Ini sudah seperti mengumpulkan PR di tahun lalu, dimana aku memiliki target untuk mengabadi beberapa simbol dari golden memory  masa kecilku, yang masih membekas hingga kini. Dan, sudah sekian lama bahkan melampui lebih dari seperempat abad baru kuingin memetik filosofi dibalik simbol-simbol ini, salah satunya adalah kembang kopi. Sebuah oleh-oleh dari liburan panjang yang tak mampu untuk tidak ku-share di media sosial yang kuikuti.

Mengapa kembang kopi?. Akan kujawab disini. Pastinya bukan karena aku penyuka kembang dan penyuka kopi yang pernah nyaris bertahan lama sebagai coffeeholic. Ini hanya visualisasi kerinduanku pada masa lalu, masa kecil di kampung halamanku. Aku kecil, sekitar umur empat tahun masih selalu ter-recall di memoriku saat ini. Ia adalah diriku yang bercelana pendek biru, dan (sepertinya) tak berbaju, begitu bahagianya berlarian dengan kakaku yang setahun lebih tua dariku. Kami kecil bersembunyi dibalik pohon sahang di kebun kakek dan sesekali memetik buahnya yang ranum untuk dimakan kulit arinya. Selang waktu, kami bermain petak umpet sampai ke kebun kopi kakek dimana kami melakukan hal yang sama. Hanya saja perlu sedikit kerja keras untuk yang satu ini. Kami harus menggunakan tangga dan targetpun bukan hanya kulit ari buah kopi yang ranum, tapi juga kembang putihnya untuk kami sunting dirambut setelah sebelumnya kami ciumi dulu aromanya (tentu dengan membuang daun-daunnya – kejam ya...).


Sesederhana itu kisah lalu yang tersimpan rapi di sudut memori keemasanku. Itu semua seperti kisah singkat di film pendek karena cerita mesti usai (tapi ternyata belum usang) bermula ketika kami masuk Sekolah Dasar, yang artinya meninggalkan kampung halaman, kebun kopi, kebun sahang, kebun tebu, pohon jeruk yang sering kami panjat, pohon asam pelam dan mangga, dan burung Beruwi’ (Kenyalang). Sekolah telah mencerabutku dari semua itu bahkan dari kedua orangtuaku karena sekolah itu artinya bermigrasi ke pusat desa, tinggal di lanting kakek-nenek, dijambangi bapak sekali-kali (mamak tidak pernah ikut, dugaanku itu sulit karena mamak melahirkan adik-adik kami setiap tahun) dan pulang ke kampung hanya sekali ketika libur panjang di bulan Juni. Liburan di sini berarti mencari uang sekolah (membantu Bapak menoreh karet), menjemur-mengisar dan menumbuk padi. Mestinya ada cerita tersendiri tentang ini semua. Kali ini, mari kembali ke kembang kopi.


Kembang kopi memiliki filosofis yang kuat menggambarkan kesolidan relasi secara universal (bagi saya lho...), baik itu persaudaraan, persahabatan maupun pekerjaan karena ia bergerombol dengan indahnya dalam satu tumpukan pada satu ruas tangkai. Kesetaraan dan kesederhanaan juga tergambarkan dari setiap kembang kecilnya yang berwarna putih dengan ukuran yang hampir sama. Terlepas dari filosofis kembang kopi, aku sendiri begitu merindukan aroma kopi racikan kakekku yang prosesnya begitu menantang sebelum ia tersaji harum panas di mug. Memanen kopi selalu disertai dengan ritual mengebaskan serangga merah, merendamnya untuk memudahkan menguliti (agar kulit arinya terkelupas – buah kopi segar tentu kulit arinya beberapa kami makan), menjemur, disangrai sampai hitam dan keluar aroma khas lalu digiling  ketika masih panas, terakhir disaring tepung kopinya (ah, aku masih menjumpai penggiling kopi kakek saat kepulanganku tahun ini, tak terawat dan disimpan di dek rumah bapakku). Dan jadilah kopi beraroma “kuat”, yang belum pernah kutemukan dikopi yang selam ini kubeli diwarung bahkan dengan merk terkenal sekalipun (subyektif sekali ya). Aku kecil dan kakakku sering curi-curi menyruput kopi kakek. Terkadang, ia langsung mengerti melihat tatapan 'ingin' kami, maka ia langsung menyuruh kami mengambil gelas masing-masing dan ia dengan senang hati membagi kopi pahitnya (jadi kangen almarhum...).

Pohon kopi dan kembang kopi belum semuanya punah. Aku masih menjumpainya ketika pulang ke kampung, dan sudah kujanjikan pada diriku untuk mengabadikannya jika kutemukan ia mekar. Bersamaan dengan keinginanku mengabadikan kembang Putat dan Mentangis (tapi tidak kesampaian karena aku tidak singgah cukup lama di pusat desa dimana aku mungkin menemukannya dengan harus berperahu atau menyisir daratan di pinggir Sungai Ketungau atau Sungai Air Nyuruk). Bahagia rasanya, seperti bernostalgia kembali dengan masa kecil ketika kutemui si kembang kopi persis di samping rumah emak. Satu hari saja kudapati tiada hujan, aku mengabadikannya dengan kamer EOS 60D dan lensa makro sehingga ia terlihat indah bersama dengan kumbang yang sedang mencumbuinya. Kumbang yang narsis, ia nyempil aja ketika aku mengambil fokus pada kembang yang menyerupai bulir-bulir. Tapi, aku senang ia tertangkap lensaku, menjadikan jepretanku hidup meski sedikit over lighting dari sunrise kala itu.

Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...