Akhir-akhir ini aku
kembali pada situasi dimana sulit mengendalikan dominasi rasa untuk sejajar
dengan logika. Rasa sedih, kecewa, kasihan yang semuanya terfokus pada
detik-detik yang dalam hitungan mundur dibayangi wajah-wajah enam orang
terpidana mati kasus narkoba yang menunggu eksekusi pada hari Minggu, 18
Januari 2015. Membayangkan wajah-wajah keluarga mereka yang terpaksa harus
menerima kenyataan atas waktu dan cara kematian yang sudah ditentukan oleh
kejaksaan. Masih rasa yang sama ketika eksekusi mati Tibo Cs pada delapan tahun
lalu (22 September 2006) untuk kasus kerusuhan Poso. Rasa yang pada tataran
kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia sesungguhnya bisa dijelaskan sejalan dengan
logika, bahkan logika sederhana sekalipun, misalnya mati tidak seharusnya
menjadi bentuk hukuman atas kejahatan apapun, apalagi dengan dalih efek jera.
Toh, semua manusia akan mati. Ini bisa jadi sangat subyektif, tetapi rasa dan
logika ini mempertanyakan beberapa hal diantaranya, apakah ada jaminan bahwa
proses-proses hukum terhadap para napi ini berjalan dengan adil, tidak
diskriminatif dan bebas dari kepentingan yang lebih besar?.
Sumber: http://www.cdn.klimg.com |
Banyak sekali orang
pintar di negaraku terutama para penegak hukum yang kuyakin mampu mencari
alternatif-alternatif hukuman berat lain selain hukuman mati. Tetapi, ini masih
seperti harapan yang mengawang jauh dibalik
awan-awan. Entah siapa yang mampu menjelaskan kenapa, akupun tidak,
selain ungkapan kekecewaanku bahwa ini bentuk kemalasan berpikir yang luar
biasa. Otak untuk menganalisa kalah tajam dan menakutkan dari pelor panas
senjata.
Detik-detik menjelang
eksekusi menyesakan dadaku, serasa seakan diriku yang akan menghadapinya.
Membayang mereka tak sanggup lagi berbuat apa-apa tetapi pasrah, bergulat
dengan bayang-bayang kematian yang disahkan secara hukum manusia melalui
keputusan kejaksaan dan popor senjata penembak jitu Polisi Brimob. Entah apa
yang mereka rasa ketika waktu dan tempat kematian telah ditentukan dan
dipersiapkan diwarnai hingar bingar, hiruk pikuk setuju-tidak setuju, pantas-tidak
pantas, iba-hujatan dan paling pasti ekspos media. Ini pula yang membuat hatiku
semakin resah, membaca dan mendengar pernyataan orang-orang yang setuju dengan
penghukuman demikian, percaya bahwa itu tindakan menyelamatkan generasi bangsa.
Aku memahami sikap dan
pikiran orang-orang yang setuju dengan menempatkan rasa dan logika seperti yang
kualami saat ini, hanya saja mungkin dalam pijakan yang berbeda. Aku cenderung
berpikir bahwa selalu ada cara lain dan mesti ada kesempatan kedua bagi
orang-orang jahat sekalipun dengan alas belas kasihan dan hak asasi manusia.
Dan mereka, kecenderungannya berpikir praktis dan percaya bahwa hanya kematian
yang bisa menghentikan ‘jahatnya’ seseorang agar ia tidak menyebarkan virus
jahatnya kepada yang lain atau melakukannya kembali dengan kesempatan yang ada.
Ya, kedua sikap dan pikiran inipun bisa diklaim sebagai yang paling benar.
Mungkin saat ini, aku harus banyak melihat dengan mata hati bukan mata-kepala
saja, bahwa negaraku tidak sedang ketakutan dan panik tetapi betul-betul sedang
peduli akan keselamatan bangsa dari kejahatan luar biasa narkoba dan terorisme
dalam bingkai penegakan hukum.