Senin, 03 November 2014

Don't Judge the Book from Its Cover: Untuk Sang Menteri Susi Pudjiastuti "The Inspirator"

Adagium Don't Judge the Book From its Cover - Jangan Menilai Buku Dari Sampulnya menjadi kembali populer akhir-akhir ini. Istilah ini mengemuka ketika pengumuman Menteri kabinet Jokowi-Jusuf Kalla, yang dinamai dengan "Kabinet Kerja". Di Kabinet kerja ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi salah satu kementerian yang baru pertama kali dijabat oleh perempuan. Isu di bidang kelautan sekaligus merupakan prioritas program kerja Jokowi dengan mimpi "Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia". Namun, masyarakat dikejutkan dengan dipilihnya seorang perempuan bernama Susi Pudjiastuti. Ia menjadi sorotan publik bukan saja karena dia wajah baru di Kementerian tetapi karena dia hanya tamatan SLTP, memiliki penampilan yang unik (dianggap nyentrik) dengan kebiasaan merokok dan bertato di kakinya.

sumber: http://media2.coconuts.co
Dipilihnya Menteri Susi Pudjiastuti mengundang pro dan kontra. Menarik sekali melihat realitas bahwa banyak juga para pakar yang berargumentasi soal ketidaklayakan perempuan satu ini menjadi Menteri karena dianggap tidak berkompetensi dan berpengetahuan di bidang tekhnologi kelautan dan perikanan mengingat latar belakangnya dari pebisnis atau pengusaha yang merintis usaha "berjualan" ikan dan lobster. Namun melampaui sekedar pengusaha berjualan ikan dan lobster, ia merupakan seorang navigator handal yang mengetahui titik-titik koordinat laut Indonesia yang memiliki potensi, misalnya dia tahu persis menggambarkan titik koordinat tempat dimana ikan jenis Black Tiger yang masih di kawasan perairan Indonesia tetapi ikan ini diklaim oleh Eropa dan dijual dengan harga yang sangat mahal disana. Dan, terpenting lagi adalah bagaimana ia membangun sayap bisnis mulai dari hanya seorang pengepul ikan dan lobster kemudian merambah ke ekspor lobster ke luar negeri yang menjadi awal ia merintis perusahaan penerbangan miliknya, Susi Air, bermula dari kebutuhan untuk menjangkau atau membeli lobster di wilayah-wilayah yang susah dicapai sampai kemudian perusahaan ini bermetamorfosa menjadi perusahaan penerbangan penumpang (passangers flight). Ia bahkan ikut andil membantu para korban Tsunami Aceh dengan perusahaan penerbangannya.

Ada banyak hal dari pengalaman Ibu Susi selama lebih dari 30 tahun menekuni bidang usahanya yang seharusnya bisa memalingkan orang dari soal ijazah SMP, merokok dan bertato. Tetapi, realitanya masih banyak, bahkan para pakar merasa "terancam" atau merasa "tidak dianggap" bahkan dilecehkan gelar akademisnya hanya karena ada Menterri hanya seorang yang berijazah SMP. Tapi, banyak juga simpati dan dukungan terhadapnya, yang coba membedakan antara profesionalisme dengan pilihan cara hidup dan gaya hidup. Ibu Susi sendiri dengan bangga mengungkap soal profesionalismenya dalam hal manajemen mulai dari perencanaan dampai pada kemampuannya mengorganisir orang serta kepribadiannya yang open-minded, berintegritas, independent (misalnya pernyataan soal dirinya tidak bisa disuap), dan pekerja keras. Itu ia ungkapkan dalam sessi wawancara dengan sebuah televisi swasta di Jakarta, dimana ia mempertegas bahwa kompetensi seperti itulah yang diharapkan dari dirinya sebagai seorang Menteri sekaligus ia mengakui kekurangan pengetahuannya di bidang tekhnologi laut dan perikanan. Terkait dengan ini, ia juga menantang para ahli untuk bekerjasama dengannya mengisi kekurangan itu dan ia juga mempertegas bahwa di departemen yagn ia pimpin juga tak kurang orang yang ahli yang siap untuk diajak berkerja sama dalam sebuah tim.

Merespon bagaimana komentar terhadap dirinya dan bagaimana ia selalu diuber-uber oleh awak media, suatu hari Menteri Susi menjawab, "Saya ini menteri apa selebritis sih, anda kejar-kejar saya terus. Saya jadi tidak bisa kerja. Hari ini saja saya belum kerja, anda "tangkap' saya." Tapi inilah bentuk keingintahuan masyarakat, dan uberan media ini tentu harusnya juga meluruskan banyak hal yang sering dipercayai sebagai kebenaran misalnya pendidikan tinggi atau gelar akademis akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan hidup masyarakat karena itu salah satu jaminan mendapat pekerjaan yang lebih layak atau setidaknya menjadi pegawai negeri sipil dengan poin yang tinggi dan berpengaruh pada karir dan golongan. Ini terlihat dengan selalu meningkatnya peminat atau pendaftar tes CPNS yang berbanding terbalik dengan formasi yang diminta atau kemampuan/daya serap masing-masing institusi. Orang-orang seperti Ibu Susi memang tergolong langka, tetapi sudah cukup banyak juga di dunia dengan catatan sukses merubah kehidupan banyak orang dengan mereka membuka ruang pekerjaan bagi orang lain dan mereka juga memiliki kepekaan terhadap persoalan masyarakat di tingkat bawah melampui para pejabat publik berdasi yang membuat kebijakan berdasarkan pesanan dari kelompok tertentu dan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, sementara mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan menganalisa persoalan yang sesungguhnya. Sederhananya, apakah pakar-pakar yang bergelar akademis dan menghujat serta meragukan kompetensi Ibu Susi tahu apa persoalan nelayan, apakah mereka sudah tersentuh kebijakan terkait kesejahteraan nelayan?. Ibu Susi hadir ditengah ketidaktahuan dan absennya kalangan elit ini dengan membeli lebih mahal tangkapan lobster nelayan meskipun kemudian lobster tersebut tidak ia jual lagi tetapi ia lepaskan karena lobster-lobster itu sedang bertelur. Ia membeli lobster itu karena ia mempertimbangkan bahwa nelayan tidak mungkin dilarang menangkap atau disuruh memilih lobster yang tidak bertelur karena ini berdampak ke penghasilan mereka (setidaknya ini satu diantara banyak hal jika bicara kebijaksanaan Ibu Susi yang dilansir sebuah media). Di samping itu, ia sendiri sadar bahwa lobster-lobster bertelur itu akan menghasilkan lobster-lobster lain (produktifitas mempertimbangkan reproduksi) dan menjaga hubungan simbiosis mutualisme antara ia sebagai pengusaha, nelayan dan keberlanjutan spesies lobster.

Suatu hari, Sang Menteri berkebaya hitam nan elegant, sehari setelah pelantikannya sebagai Menteri Kelautan & Perikanan di Televisi Swasta Jakarta, ia bicara soal prioritasnya: Tata Ruang, Komersialisasi perikanan, kesejahteraan nelayan, advokasi nelayan dan illegal/destructive fishing. Ia jg memuji staf-stafnya di kementerian yang dia anggap open-minded. Dengan pernyataan-pernyataannya yang tidak bertele-tele, tidak mengawang-awang, menurutku ia juga menegaskan dirinya yang memiliki integritas, independen (bahasa bu Susi, "Saya tidak bisa disuap") dan mampu mengelola peluang serta mengorganisir sumber daya bermodalkan pengalamannya selama ini. Dan, hal yang mengetuk hati adalah komitmennya yang tidak dilandasi ingin kaya, ingin populer dan pengakuan tetapi komitmen membuat bidang kelautan Indonesia lebih maju, sehingga ia juga menyatakan siap mundur jika dianggap kinerjanya tidak baik. Dan, hanya selang beberapa hari ia diwawancarai ini, ketika ia berkesempatan bertemu dengan para nelayan di Pangandaran, ia bahkan menyatakan akan memberikan gajinya sebagai Menteri kepada para pensiunan nelayan dalam bentuk asuransi. Saya tidak heran, kepulangan Ibu Susi di Pangandaran disambut antusiasme warga, karena ia sering sekali terlibat (ini yang saya sebut wujud egaliter sang Menteri satu ini) dalam pelelangan ikan bersama para nelayan, dengan duduk dibangku yang ia klaim sudah 15 tahun ia duduki dalam proses pelelangan ikan ditemani secangkir kopi. Ia berbaur dengan orang-orang masih sama persis ketika ia belum menjadi menteri. Semoga ini awal yang baik ya bu Susi.

Ya .... cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti mungkin kelak menjadi salah satu rujukan di Indonesia bahwa kita tidak bisa menilai orang dari fisik dan pilihan hidup. Apa yang salah dengan pilihan hidup Ibu Susi merokok dan menato kulitnya, toh ia tidak menggunakan uang rakyat - tidak merampok (baca: korupsi). Melihatlah dengan jernih dan bedakan antara kualitas, kompetensi dan pengalaman dengan kostum, penampilan dan juga jenjang pendidikan. Apalagi, semakin hari, jenjang pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemampuan seseorang bahkan untuk mengukur sukses, kecuali Pegawai Negeri lah ya ... Yang jelas, menjadi Menteri juga tidak ada kriteria tertentu untuk jenjang pendidikan, dan sepertinya ini salah satu kehebatan Presiden Jokowi dalam membaca peluang, ia memberi ruang bagi para kaum profesional di kabinetnya untuk bisa berbuat bagi negara, bersanding dengan para elit parta dan kaum terpelajar (berpendidikan tinggi) untuk meretas jarak atau kelas, bersama-sama dengan apa yang mereka miliki untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Kabinet toh bukan hanya kaplingan elit partai dan para cendekiawan dengan gelar seabrek. Selamat bekerja Ibu Susi Pudjiastuti, banyak tugas menantimu dan semoga tetap menjadi dirimu yang memiliki visi ke depan dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat di sekitarmu, utamanya para nelayan.




Tekun itu pantang tertekan, belajar dari propagasi "Peace Lily"

Memahami sebuah proses apalagi menjalaninya memerlukan ketekunan dan kesabaran. Seringnya pada prosesnya, lagi-lagi berproses terkadang penu...